@greidimora13:

Greidimora💖📉
Greidimora💖📉
Open In TikTok:
Region: VE
Monday 29 May 2023 04:46:03 GMT
253
23
0
0

Music

Download

Comments

There are no more comments for this video.
To see more videos from user @greidimora13, please go to the Tikwm homepage.

Other Videos

Namaku Rangga Satria, 36 tahun, ahli geologi kelautan. Sejak 2016 aku jadi konsultan lapangan di beberapa proyek survei Antartika. Biasanya kerjaanku tak pernah jadi headline: hanya mencatat retakan glasial, menganalisis batuan, dan pulang. Sampai Januari lalu, saat aku ikut tim kecil riset retakan baru di 72°LS. Koordinat itu aneh: wilayah kosong di peta publik, kabarnya karena “gangguan magnetik” yang bikin data satelit kacau. Proyek kami minim publikasi, hanya didanai lembaga riset internasional yang tak suka sorotan. Kupikir survei biasa. Aku salah. Tim: Arnaud (glasiolog Prancis), Seulgi (geofisikawan Korea), Lisa (kartografer Selandia Baru). Kami tiba di atas retakan pakai helikopter ringan, cuaca cerah tak wajar. Retakan itu membentang ratusan meter, menganga seperti luka hitam di lautan es putih. Kami turun pakai tali. Dinding es memantulkan cahaya biru, menelan suara napas sendiri. Sekitar 30 meter di bawah, kami temukan lorong sempit, permukaannya terlalu halus untuk celah alami. Udara hangat keluar darinya, aneh di tengah suhu minus. Aku dan Arnaud merangkak duluan, disusul Seulgi dan Lisa. Lorong hanya beberapa meter, lalu membuka ke ruang kubah es kecil. Di depan, ada gerbang batu hitam setengah tertutup lapisan es tipis, seolah sengaja disembunyikan. Kami saling pandang, lalu maju. Begitu melewati gerbang, suhu berubah drastis. Dan di depan, kulihat hal paling tak masuk akal seumur hidupku. Hamparan lembah hijau terbentang, pepohonan raksasa berdaun lebar, akar menjalar di tanah lembab. Kabut tipis menggantung, ada aroma tanah basah. Di kejauhan, air terjun jatuh ke danau hijau kebiruan. Tak ada salju, hanya suara gemerisik daun. Seulgi menempelkan termometer: 23°C. Lisa berdiri terpaku. Aku meraih segenggam tanah: lembab, berbau humus segar. Mustahil. Menurut peta, kami seharusnya di bawah kubah es ribuan meter. Kami berjalan mendekati danau. Di tepinya berdiri pilar-pilar batu hitam, tertutup lumut, dengan pahatan aneh tak menyerupai huruf mana pun. Ada sisa jalur batu setengah runtuh, seperti jalan kuno. Waktu seolah berhenti. Suara jadi samar, kepala ringan. Lalu Seulgi menunjuk celah sempit di kaki tebing: seperti gua kecil. Entah kenapa, kami serempak bergerak ke sana. Sebelum kabut menelan lembah, aku menoleh. Lembah, danau, pepohonan samar menghilang di balik kabut. Kami masuk gua. Gelap, pengap, di ujungnya kulihat cahaya putih. Kami merangkak cepat, dan keluar ke permukaan retakan. Angin dingin Antartika kembali menghantam wajah. Langit kelabu menggantung. Kami saling pandang, terengah. Jam hanya bergeser 30 menit. Lisa angkat kamera: semua foto hilang. Seulgi berbisik nyaris tak terdengar, “Tempat itu… hanya diperlihatkan sekilas.” Aku tak membalas, tapi tahu ia benar. Di helikopter, tak ada yang bicara. GPS kacau, menolak mencatat di mana kami tadi berada. Seolah tak pernah ada. Tapi di balik lapisan es, ada sesuatu. Bukan ruang kosong, bukan hanya sejarah purba. Tapi wilayah yang tak pernah dicatat dan hanya diperlihatkan sebentar, lalu lenyap. Menunggu ditemukan lagi, oleh siapa pun yang cukup nekat menatap celah di ujung dunia. #storytime #creepy #story
Namaku Rangga Satria, 36 tahun, ahli geologi kelautan. Sejak 2016 aku jadi konsultan lapangan di beberapa proyek survei Antartika. Biasanya kerjaanku tak pernah jadi headline: hanya mencatat retakan glasial, menganalisis batuan, dan pulang. Sampai Januari lalu, saat aku ikut tim kecil riset retakan baru di 72°LS. Koordinat itu aneh: wilayah kosong di peta publik, kabarnya karena “gangguan magnetik” yang bikin data satelit kacau. Proyek kami minim publikasi, hanya didanai lembaga riset internasional yang tak suka sorotan. Kupikir survei biasa. Aku salah. Tim: Arnaud (glasiolog Prancis), Seulgi (geofisikawan Korea), Lisa (kartografer Selandia Baru). Kami tiba di atas retakan pakai helikopter ringan, cuaca cerah tak wajar. Retakan itu membentang ratusan meter, menganga seperti luka hitam di lautan es putih. Kami turun pakai tali. Dinding es memantulkan cahaya biru, menelan suara napas sendiri. Sekitar 30 meter di bawah, kami temukan lorong sempit, permukaannya terlalu halus untuk celah alami. Udara hangat keluar darinya, aneh di tengah suhu minus. Aku dan Arnaud merangkak duluan, disusul Seulgi dan Lisa. Lorong hanya beberapa meter, lalu membuka ke ruang kubah es kecil. Di depan, ada gerbang batu hitam setengah tertutup lapisan es tipis, seolah sengaja disembunyikan. Kami saling pandang, lalu maju. Begitu melewati gerbang, suhu berubah drastis. Dan di depan, kulihat hal paling tak masuk akal seumur hidupku. Hamparan lembah hijau terbentang, pepohonan raksasa berdaun lebar, akar menjalar di tanah lembab. Kabut tipis menggantung, ada aroma tanah basah. Di kejauhan, air terjun jatuh ke danau hijau kebiruan. Tak ada salju, hanya suara gemerisik daun. Seulgi menempelkan termometer: 23°C. Lisa berdiri terpaku. Aku meraih segenggam tanah: lembab, berbau humus segar. Mustahil. Menurut peta, kami seharusnya di bawah kubah es ribuan meter. Kami berjalan mendekati danau. Di tepinya berdiri pilar-pilar batu hitam, tertutup lumut, dengan pahatan aneh tak menyerupai huruf mana pun. Ada sisa jalur batu setengah runtuh, seperti jalan kuno. Waktu seolah berhenti. Suara jadi samar, kepala ringan. Lalu Seulgi menunjuk celah sempit di kaki tebing: seperti gua kecil. Entah kenapa, kami serempak bergerak ke sana. Sebelum kabut menelan lembah, aku menoleh. Lembah, danau, pepohonan samar menghilang di balik kabut. Kami masuk gua. Gelap, pengap, di ujungnya kulihat cahaya putih. Kami merangkak cepat, dan keluar ke permukaan retakan. Angin dingin Antartika kembali menghantam wajah. Langit kelabu menggantung. Kami saling pandang, terengah. Jam hanya bergeser 30 menit. Lisa angkat kamera: semua foto hilang. Seulgi berbisik nyaris tak terdengar, “Tempat itu… hanya diperlihatkan sekilas.” Aku tak membalas, tapi tahu ia benar. Di helikopter, tak ada yang bicara. GPS kacau, menolak mencatat di mana kami tadi berada. Seolah tak pernah ada. Tapi di balik lapisan es, ada sesuatu. Bukan ruang kosong, bukan hanya sejarah purba. Tapi wilayah yang tak pernah dicatat dan hanya diperlihatkan sebentar, lalu lenyap. Menunggu ditemukan lagi, oleh siapa pun yang cukup nekat menatap celah di ujung dunia. #storytime #creepy #story

About