@ajsreaction: @robegrill #quechille

Ajsreaction
Ajsreaction
Open In TikTok:
Region: GB
Friday 03 November 2023 02:34:46 GMT
28291
2454
47
52

Music

Download

Comments

davader
DA Vader :
Craving a Tampiqueña!!!
2023-11-05 08:42:25
5
stupid_ghost5
stupid_ghost :
i'm comiiiiing
2023-11-05 15:30:29
0
brendis_2552
Brenda Torres :
Que chieee
2023-11-05 23:00:10
1
lucy57556
lucy57556 :
que chille I like your video man
2023-11-03 05:40:08
1
mariagrf3
user8607929594394 :
how can i love so much this duplo
2023-11-03 14:29:44
2
marybellbaag
Mary Bell :
The voice 😳👌
2023-11-04 19:37:41
2
yessi.de_garcia17
Yessi de García 💜 :
lovev😎💜🖤
2023-11-04 00:11:02
0
erclas
Erclas :
My man must eat something while he reacts 😭
2023-11-03 02:49:45
4
palomafitmom
Paloma Dlf :
Not the pimienta😭
2023-11-03 04:02:32
11
consmll
cccccccccc :
Soy ese wey
2023-11-04 06:30:16
4
rodrigovaldebeni1
Rodrigo Valdebenito :
el mejor crossover
2023-11-05 03:19:11
1
sfninergiants415
Niner4life!!! :
The smelling!!😂😂😂😂
2023-11-10 05:41:34
1
katherinortiz913
Kath :
✨CHILTEPIIIN✨😭
2024-01-12 00:07:18
0
calarte2020
CalArte :
ya invitarlo para que diga molcajete 💪 @robegrill
2023-11-03 04:00:36
52
antares_0000
antares :
invitalo we mira como lo tienes sufriendo jaja @robegrill
2023-11-03 02:57:22
39
iziz078
Isis78 :
@robegrill ES JUSTO Y NECESARIO... HAS UN VIDEO CON EL. QUE SE HAGA REALIDAD TU COMIDA
2023-11-03 10:48:37
12
axeldiazacosta
Axel Díaz Acosta333 :
@robegrill invítalo para que grite MOLCAJETE y CHILTEPIN!
2023-11-03 05:28:19
6
loveeuxzzz
Xander :
@robegrill ya invitarlo hermano ya trai ganas de un platillo tuyo
2023-11-05 03:10:46
3
lcedillo.r
LM10_Scentdillo :
@robegrill invitalo we
2023-11-05 00:40:13
3
ronaldomaltez
Luis Felipe :
@robegrill ya invita a mi brother, es tu fan 👍
2023-11-04 20:39:52
3
llanes1730
👩🏿 :
@robegrill invitalooo porfiii 😂😂
2023-11-04 18:31:23
3
irving.ferreira7
Irving Ferreira :
S@robegrill invítalo compadre
2023-11-12 04:06:29
2
evycastillox2
evycastillox2 :
👏👏👏
2024-01-14 18:42:55
0
To see more videos from user @ajsreaction, please go to the Tikwm homepage.

Other Videos

Ketapang, Kalimantan Barat, Suarajurnalis.id — Polemik legalitas operasional perusahaan kelapa sawit kembali mencuat di tengah maraknya konflik agraria di Kabupaten Ketapang. Isu beroperasinya perusahaan tanpa Hak Guna Usaha (HGU) menjadi perdebatan publik. Namun, pakar hukum menegaskan bahwa selama perusahaan memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP) yang sah, kegiatan operasional tetap diperbolehkan menurut aturan yang berlaku. Praktisi Hukum, Jakaria Irawan, SH, MH, menjelaskan bahwa ketentuan hukum mengenai kewajiban kepemilikan HGU dan IUP telah mengalami perubahan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 138/PUU-XIII/2015. “Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan Pasal 42 awalnya menyebutkan syarat berkebun cukup dengan memiliki IUP atau HGU. Namun, setelah putusan MK tahun 2015, syarat itu berubah menjadi harus memiliki IUP dan HGU,” ujar Jakaria, Rabu (22/10/2025). Meski demikian, Jakaria menegaskan bahwa putusan MK tersebut tidak berlaku surut. Artinya, perusahaan yang IUP-nya diterbitkan sebelum tahun 2015 tetap sah secara hukum untuk beroperasi meski HGU-nya belum selesai diterbitkan. “Perlu dipahami, penerbitan HGU bukan proses yang cepat. Setelah izin lokasi (Ilok) dan IUP diterbitkan, barulah proses menuju HGU dijalankan. Jadi, selama IUP masih berlaku dan belum dicabut, maka kegiatan operasional perusahaan tetap legal,” tegasnya. Menurut Jakaria, perusahaan yang sudah memperoleh IUP umumnya telah menyelesaikan kewajiban kepada masyarakat pemilik lahan, termasuk pembayaran ganti rugi atau ganti untung, sebelum izin tersebut dikeluarkan. Sehingga, hak atas lahan telah beralih secara hukum kepada perusahaan. Namun, ia juga menyoroti munculnya konflik agraria akibat banyaknya Surat Kepemilikan Tanah (SKT) yang diterbitkan oleh pemerintah desa di atas lahan yang sudah masuk wilayah izin perusahaan. “Ada kasus di mana SKT yang terbit mencapai 16.000 hektare, padahal luas lahannya hanya 7.200 hektare. Ini aneh dan patut dipertanyakan legalitasnya. SKT seperti ini justru memperkeruh situasi dan memperlambat proses HGU,” kata Jakaria. Dampak dan Penertiban SKT Pemerhati perkebunan Kartono juga menilai bahwa ketidaktertiban administrasi SKT menjadi akar panjang persoalan agraria di sektor kelapa sawit. Ia mendesak pemerintah daerah dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk menertibkan penerbitan SKT yang tumpang tindih. Menurutnya, perlu kejelasan sejak awal apakah lahan yang diklaim masyarakat termasuk Areal Penggunaan Lain (APL) atau kawasan hutan. “Kalau lahan APL, penyelesaiannya menjadi ranah BPN setelah proses dengan masyarakat. Tapi kalau kawasan hutan, ranahnya berada di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” terang Kartono. Ia menambahkan, masyarakat juga harus bisa menunjukkan bukti kepemilikan yang sah secara hukum, seperti SHM, girik, atau pengakuan adat yang diakui negara. “Kalau tidak bisa, berarti yang mereka miliki bukan tanahnya, tapi hanya tanaman atau bangunannya. Lahan itu bisa jadi milik negara,” ujarnya. Sementara itu, Mashuri, salah satu pengusaha sawit di Ketapang, memastikan bahwa perusahaan yang beroperasi di daerahnya tetap berkomitmen pada kepatuhan hukum dan regulasi. “Kami taat pada aturan dan tidak mungkin beroperasi tanpa dasar hukum. Banyak perusahaan memang masih menunggu proses HGU, tapi semua telah memiliki IUP yang sah,” ujar Mashuri. Ia menilai bahwa kepastian hukum harus diimbangi dengan komunikasi dan pemahaman yang baik antar pihak, agar tidak terjadi kesalahpahaman di lapangan. “Penyelesaian masalah harus dilakukan secara konstitusional dan elegan, bukan dengan aksi pendudukan atau provokasi yang justru merugikan semua pihak,” tambahnya. Kasus belum selesainya penerbitan HGU bagi sejumlah perusahaan sawit di Ketapang memperlihatkan kompleksitas hukum agraria di Indonesia. Selama aturan belum tuntas dan administrasi pertanahan belum tertib, konflik serupa akan terus berulang.  #ketapangkalbar #fypシ゚viral🖤tiktok #konfliklahan #suarajurnalis
Ketapang, Kalimantan Barat, Suarajurnalis.id — Polemik legalitas operasional perusahaan kelapa sawit kembali mencuat di tengah maraknya konflik agraria di Kabupaten Ketapang. Isu beroperasinya perusahaan tanpa Hak Guna Usaha (HGU) menjadi perdebatan publik. Namun, pakar hukum menegaskan bahwa selama perusahaan memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP) yang sah, kegiatan operasional tetap diperbolehkan menurut aturan yang berlaku. Praktisi Hukum, Jakaria Irawan, SH, MH, menjelaskan bahwa ketentuan hukum mengenai kewajiban kepemilikan HGU dan IUP telah mengalami perubahan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 138/PUU-XIII/2015. “Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan Pasal 42 awalnya menyebutkan syarat berkebun cukup dengan memiliki IUP atau HGU. Namun, setelah putusan MK tahun 2015, syarat itu berubah menjadi harus memiliki IUP dan HGU,” ujar Jakaria, Rabu (22/10/2025). Meski demikian, Jakaria menegaskan bahwa putusan MK tersebut tidak berlaku surut. Artinya, perusahaan yang IUP-nya diterbitkan sebelum tahun 2015 tetap sah secara hukum untuk beroperasi meski HGU-nya belum selesai diterbitkan. “Perlu dipahami, penerbitan HGU bukan proses yang cepat. Setelah izin lokasi (Ilok) dan IUP diterbitkan, barulah proses menuju HGU dijalankan. Jadi, selama IUP masih berlaku dan belum dicabut, maka kegiatan operasional perusahaan tetap legal,” tegasnya. Menurut Jakaria, perusahaan yang sudah memperoleh IUP umumnya telah menyelesaikan kewajiban kepada masyarakat pemilik lahan, termasuk pembayaran ganti rugi atau ganti untung, sebelum izin tersebut dikeluarkan. Sehingga, hak atas lahan telah beralih secara hukum kepada perusahaan. Namun, ia juga menyoroti munculnya konflik agraria akibat banyaknya Surat Kepemilikan Tanah (SKT) yang diterbitkan oleh pemerintah desa di atas lahan yang sudah masuk wilayah izin perusahaan. “Ada kasus di mana SKT yang terbit mencapai 16.000 hektare, padahal luas lahannya hanya 7.200 hektare. Ini aneh dan patut dipertanyakan legalitasnya. SKT seperti ini justru memperkeruh situasi dan memperlambat proses HGU,” kata Jakaria. Dampak dan Penertiban SKT Pemerhati perkebunan Kartono juga menilai bahwa ketidaktertiban administrasi SKT menjadi akar panjang persoalan agraria di sektor kelapa sawit. Ia mendesak pemerintah daerah dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk menertibkan penerbitan SKT yang tumpang tindih. Menurutnya, perlu kejelasan sejak awal apakah lahan yang diklaim masyarakat termasuk Areal Penggunaan Lain (APL) atau kawasan hutan. “Kalau lahan APL, penyelesaiannya menjadi ranah BPN setelah proses dengan masyarakat. Tapi kalau kawasan hutan, ranahnya berada di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” terang Kartono. Ia menambahkan, masyarakat juga harus bisa menunjukkan bukti kepemilikan yang sah secara hukum, seperti SHM, girik, atau pengakuan adat yang diakui negara. “Kalau tidak bisa, berarti yang mereka miliki bukan tanahnya, tapi hanya tanaman atau bangunannya. Lahan itu bisa jadi milik negara,” ujarnya. Sementara itu, Mashuri, salah satu pengusaha sawit di Ketapang, memastikan bahwa perusahaan yang beroperasi di daerahnya tetap berkomitmen pada kepatuhan hukum dan regulasi. “Kami taat pada aturan dan tidak mungkin beroperasi tanpa dasar hukum. Banyak perusahaan memang masih menunggu proses HGU, tapi semua telah memiliki IUP yang sah,” ujar Mashuri. Ia menilai bahwa kepastian hukum harus diimbangi dengan komunikasi dan pemahaman yang baik antar pihak, agar tidak terjadi kesalahpahaman di lapangan. “Penyelesaian masalah harus dilakukan secara konstitusional dan elegan, bukan dengan aksi pendudukan atau provokasi yang justru merugikan semua pihak,” tambahnya. Kasus belum selesainya penerbitan HGU bagi sejumlah perusahaan sawit di Ketapang memperlihatkan kompleksitas hukum agraria di Indonesia. Selama aturan belum tuntas dan administrasi pertanahan belum tertib, konflik serupa akan terus berulang. #ketapangkalbar #fypシ゚viral🖤tiktok #konfliklahan #suarajurnalis

About