@t.g.a.v.d.h: Thái Bình Cổ Trấn khu danh thắng lịch sử đặc biệt, nơi giao thỏa văn hoá của dân tộc Minh, Choáng, Đường và Thủy hãy khám phá ngay nào mọi người ơi #xuhuongtiktok #thaibinhcotran #trungquoc #vanhoatrunghoa

Thế Giới Ăn Vặt Diệp Hân
Thế Giới Ăn Vặt Diệp Hân
Open In TikTok:
Region: VN
Wednesday 13 March 2024 01:38:24 GMT
1410
9
0
26

Music

Download

Comments

There are no more comments for this video.
To see more videos from user @t.g.a.v.d.h, please go to the Tikwm homepage.

Other Videos

JAKARTA, SENIN SIANG, 24 NOVEMBER 2025 — Gedung Nusantara III DPR RI bukan sekadar bangunan beton dan kaca. Hari itu, ia menjadi saksi bisu pertemuan dua kutub penegak hukum yang kerap bersilang jalan; Advokat dan Legislator. Di ruang rapat Komisi III, ratusan advokat dari seluruh penjuru negeri—dari DPN hingga DPC, dari Jakarta Barat hingga pelosok timur Indonesia—berkumpul bukan untuk berdebat, melainkan bersilaturahmi. Mereka datang membawa satu hal yang jarang terdengar dari ruang sidang; ucapan terima kasih. Ya, terima kasih. Sebuah kata yang sederhana, namun dalam dunia hukum yang keras dan penuh intrik, ia bisa menjadi revolusioner. Pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) 2025 menjadi alasan utama pertemuan ini. Sebuah naskah hukum yang akan mulai berlaku 2 Januari 2026, menggantikan KUHAP lama yang telah berusia 41 tahun—lebih tua dari sebagian besar advokat yang hadir hari itu. Herry Ponto, Ketua Umum DPN PERADI SAI, yang duduk dalam barisan tengah dengan suara lantang namun bergetar. “Kami bukan sekadar profesi, kami adalah pilar keadilan. Tapi selama ini, kami sering diperlakukan seperti pengganggu proses hukum, bukan mitra penegakan hukum,” ujarnya. Ia menyambut baik KUHAP baru yang, meski belum sempurna, mulai mengakui hak-hak advokat sejak tahap awal penyidikan. Sebuah langkah kecil bagi legislasi, tapi lompatan besar bagi profesi advokat yang selama ini kerap dibayangi kr*minalisasi. Di tengah meja dari deretan anggota DPR RI lainnya, Habiburochman, Ketua Komisi III DPR RI, menyambut hangat para koleganya—karena ia sendiri bukan orang asing di dunia advokat. Sebagai anggota PERADI SAI Jakarta Timur, ia tahu betul getirnya membela klien dalam sistem hukum yang kadang lebih suka membungkam daripada mendengar. “KUHAP yang baru ini adalah koreksi sejarah,” katanya. “Kini, advokat punya hak yang lebih jelas, lebih kuat, dan lebih awal dalam mendampingi klien. Dan jika penyidik melanggar, ada sanksi. Tak hanya etik, tapi juga pidana.” Sebuah pernyataan yang terdengar seperti simfoni keadilan di telinga para advokat yang hadir. Akhirnya, ada pengakuan bahwa mereka bukan sekadar pelengkap penderita dalam proses hukum, tapi subjek utama dalam menjaga hak asasi manusia. Namun, tak semua manis. Di balik senyum dan jabat tangan, terselip kegelisahan lama; dualisme dewan etik antarorganisasi advokat. Herry Ponto, dengan nada diplomatis namun tegas, mengusulkan agar Komisi III turut merumuskan regulasi dewan etik bersama. “Bagaimana mungkin satu profesi, satu sumpah, tapi banyak etika yang saling bertabrakan?” tanyanya. Sebuah pertanyaan yang menggugah, sekaligus menyentil ego sektoral yang selama ini membelah dunia advokat. Habiburochman tak menampik. Ia mengangguk, mencatat, dan menjanjikan pembahasan lebih lanjut dengan harapan adanya masukkan dari organisasi advokat termasuk PERADI SAI. Mungkin, inilah awal dari rekonsiliasi etik yang telah lama dinanti. Sebagai advokat, saya menyaksikan sendiri bagaimana silaturahmi ini bukan sekadar seremoni. Ia adalah simbol bahwa hukum bukan hanya soal pasal dan ayat, tapi juga soal keberanian untuk berubah, untuk mendengar, dan untuk mengakui bahwa keadilan tak bisa ditegakkan sendirian. KUHAP 2025 bukan akhir, tapi awal. Awal dari perjuangan panjang agar advokat tak lagi dibungkam, agar klien tak lagi sendirian, dan agar hukum tak lagi menjadi alat kekuasaan, melainkan pelindung keadilan. Dan jika hari ini kami berterima kasih, itu bukan karena kami puas. Tapi karena kami percaya; ketika legislator dan advokat duduk bersama, hukum bisa menjadi lebih manusiawi. Salam Keadilan, Darius Leka, S.H., M.H. (Ketua Komite Publikasi dan Humas DPC PERADI SAI Jakarta Barat) #silaturahmihukumnusantara #kuhap2025bergerak #peradisai #foryou #fyp @semuaorang __________
JAKARTA, SENIN SIANG, 24 NOVEMBER 2025 — Gedung Nusantara III DPR RI bukan sekadar bangunan beton dan kaca. Hari itu, ia menjadi saksi bisu pertemuan dua kutub penegak hukum yang kerap bersilang jalan; Advokat dan Legislator. Di ruang rapat Komisi III, ratusan advokat dari seluruh penjuru negeri—dari DPN hingga DPC, dari Jakarta Barat hingga pelosok timur Indonesia—berkumpul bukan untuk berdebat, melainkan bersilaturahmi. Mereka datang membawa satu hal yang jarang terdengar dari ruang sidang; ucapan terima kasih. Ya, terima kasih. Sebuah kata yang sederhana, namun dalam dunia hukum yang keras dan penuh intrik, ia bisa menjadi revolusioner. Pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) 2025 menjadi alasan utama pertemuan ini. Sebuah naskah hukum yang akan mulai berlaku 2 Januari 2026, menggantikan KUHAP lama yang telah berusia 41 tahun—lebih tua dari sebagian besar advokat yang hadir hari itu. Herry Ponto, Ketua Umum DPN PERADI SAI, yang duduk dalam barisan tengah dengan suara lantang namun bergetar. “Kami bukan sekadar profesi, kami adalah pilar keadilan. Tapi selama ini, kami sering diperlakukan seperti pengganggu proses hukum, bukan mitra penegakan hukum,” ujarnya. Ia menyambut baik KUHAP baru yang, meski belum sempurna, mulai mengakui hak-hak advokat sejak tahap awal penyidikan. Sebuah langkah kecil bagi legislasi, tapi lompatan besar bagi profesi advokat yang selama ini kerap dibayangi kr*minalisasi. Di tengah meja dari deretan anggota DPR RI lainnya, Habiburochman, Ketua Komisi III DPR RI, menyambut hangat para koleganya—karena ia sendiri bukan orang asing di dunia advokat. Sebagai anggota PERADI SAI Jakarta Timur, ia tahu betul getirnya membela klien dalam sistem hukum yang kadang lebih suka membungkam daripada mendengar. “KUHAP yang baru ini adalah koreksi sejarah,” katanya. “Kini, advokat punya hak yang lebih jelas, lebih kuat, dan lebih awal dalam mendampingi klien. Dan jika penyidik melanggar, ada sanksi. Tak hanya etik, tapi juga pidana.” Sebuah pernyataan yang terdengar seperti simfoni keadilan di telinga para advokat yang hadir. Akhirnya, ada pengakuan bahwa mereka bukan sekadar pelengkap penderita dalam proses hukum, tapi subjek utama dalam menjaga hak asasi manusia. Namun, tak semua manis. Di balik senyum dan jabat tangan, terselip kegelisahan lama; dualisme dewan etik antarorganisasi advokat. Herry Ponto, dengan nada diplomatis namun tegas, mengusulkan agar Komisi III turut merumuskan regulasi dewan etik bersama. “Bagaimana mungkin satu profesi, satu sumpah, tapi banyak etika yang saling bertabrakan?” tanyanya. Sebuah pertanyaan yang menggugah, sekaligus menyentil ego sektoral yang selama ini membelah dunia advokat. Habiburochman tak menampik. Ia mengangguk, mencatat, dan menjanjikan pembahasan lebih lanjut dengan harapan adanya masukkan dari organisasi advokat termasuk PERADI SAI. Mungkin, inilah awal dari rekonsiliasi etik yang telah lama dinanti. Sebagai advokat, saya menyaksikan sendiri bagaimana silaturahmi ini bukan sekadar seremoni. Ia adalah simbol bahwa hukum bukan hanya soal pasal dan ayat, tapi juga soal keberanian untuk berubah, untuk mendengar, dan untuk mengakui bahwa keadilan tak bisa ditegakkan sendirian. KUHAP 2025 bukan akhir, tapi awal. Awal dari perjuangan panjang agar advokat tak lagi dibungkam, agar klien tak lagi sendirian, dan agar hukum tak lagi menjadi alat kekuasaan, melainkan pelindung keadilan. Dan jika hari ini kami berterima kasih, itu bukan karena kami puas. Tapi karena kami percaya; ketika legislator dan advokat duduk bersama, hukum bisa menjadi lebih manusiawi. Salam Keadilan, Darius Leka, S.H., M.H. (Ketua Komite Publikasi dan Humas DPC PERADI SAI Jakarta Barat) #silaturahmihukumnusantara #kuhap2025bergerak #peradisai #foryou #fyp @semuaorang __________ "Kami percaya bahwa pemahaman hukum adalah hak setiap warga. Jika kon

About