@lhn_1608: #xh #viral #xuhuong #story #tamtrang

Những ngày không nắng
Những ngày không nắng
Open In TikTok:
Region: VN
Saturday 06 July 2024 14:22:22 GMT
72180
1247
6
413

Music

Download

Comments

nhi100699150919
Bé Chị 😍😍 :
Cố lên a 😘😘😘
2024-08-08 01:24:28
1
21042000thanh
Thảnh :
Xin tên nhạc ạ
2025-05-14 01:37:26
0
bum140698
Huong1406 :
🥰🥰🥰
2025-10-15 12:55:45
0
dyc0o75vqbd0
ẩn sĩ tu tiên :
🗿
2025-06-10 15:28:08
0
thn.tzuc
Tzucc🌵 :
Chống đỡ hết nổi rồi
2024-07-07 03:51:48
1
hongphuong062002
Đỗ công chức thì đổi tên👩‍⚖️ :
🥺🥺 10/12/2024 một ngày tồi tệ đối vs P r mọi thứ sẽ ổn thôi mà đúng k , cả tg như đang chống lại mk vậy 2:22 h sáng r vẫn còn thức xem xong thông báo đ mà k ngủ đc luôn🥺🥺🥺Buồn quá😭🥺
2024-12-10 19:23:29
0
To see more videos from user @lhn_1608, please go to the Tikwm homepage.

Other Videos

Delapan triliun rupiah. Angka yang bahkan sulit dibayangkan, apalagi jika tahu itu hanya untuk membayar bonus dan tantiem para komisaris BUMN setiap tahunnya. Uang sebanyak itu bukan untuk membangun jalan, bukan untuk memperbaiki layanan publik, tapi untuk membayar “pengawas” perusahaan negara yang sebagian besar bahkan jarang muncul di publik. Pemerintah kini mengklaim sudah memangkas dan menertibkan sistem tantiem itu lewat kebijakan baru. Katanya demi efisiensi, demi penghematan, demi kinerja yang lebih baik. Tapi publik berhak bertanya: apakah penghematan ini benar-benar terjadi, atau hanya sekadar kata-kata manis di podium? Posisi komisaris sejatinya penting — mereka mengawasi direksi, menjaga agar BUMN tak tersesat dalam korupsi dan inefisiensi. Namun, ketika hasil kerja mereka tak sebanding dengan besarnya bonus yang diterima, rasa keadilan publik ikut tercabik. Rapat sebulan sekali, honor miliaran, bonus triliunan — logika macam apa yang bisa membenarkannya? Pemerintah memang sering bicara soal efisiensi, tapi efisiensi tanpa transparansi hanyalah panggung. Rakyat tidak bisa lagi dibujuk dengan jargon “penghematan” sementara hasilnya tidak terlihat nyata. Uang rakyat seharusnya kembali ke rakyat, bukan menguap di ruang rapat berpendingin udara. Jika benar Rp8 triliun bisa dihemat tiap tahun, seharusnya ada tanda-tanda perubahan yang bisa dilihat dan dirasakan publik. Entah dari peningkatan layanan BUMN, perbaikan infrastruktur, atau transparansi laporan keuangan. Kalau tidak, wajar bila publik curiga: penghematan itu berhenti di kalimat, bukan di tindakan. Delapan triliun itu bukan sekadar angka — itu cermin betapa jauhnya jarak antara realitas rakyat dan kemewahan elit. Jika negara sungguh-sungguh ingin dipercaya, maka perbaikannya harus nyata, bukan hanya di laporan tahunan. #fyp #gaji #bumn
Delapan triliun rupiah. Angka yang bahkan sulit dibayangkan, apalagi jika tahu itu hanya untuk membayar bonus dan tantiem para komisaris BUMN setiap tahunnya. Uang sebanyak itu bukan untuk membangun jalan, bukan untuk memperbaiki layanan publik, tapi untuk membayar “pengawas” perusahaan negara yang sebagian besar bahkan jarang muncul di publik. Pemerintah kini mengklaim sudah memangkas dan menertibkan sistem tantiem itu lewat kebijakan baru. Katanya demi efisiensi, demi penghematan, demi kinerja yang lebih baik. Tapi publik berhak bertanya: apakah penghematan ini benar-benar terjadi, atau hanya sekadar kata-kata manis di podium? Posisi komisaris sejatinya penting — mereka mengawasi direksi, menjaga agar BUMN tak tersesat dalam korupsi dan inefisiensi. Namun, ketika hasil kerja mereka tak sebanding dengan besarnya bonus yang diterima, rasa keadilan publik ikut tercabik. Rapat sebulan sekali, honor miliaran, bonus triliunan — logika macam apa yang bisa membenarkannya? Pemerintah memang sering bicara soal efisiensi, tapi efisiensi tanpa transparansi hanyalah panggung. Rakyat tidak bisa lagi dibujuk dengan jargon “penghematan” sementara hasilnya tidak terlihat nyata. Uang rakyat seharusnya kembali ke rakyat, bukan menguap di ruang rapat berpendingin udara. Jika benar Rp8 triliun bisa dihemat tiap tahun, seharusnya ada tanda-tanda perubahan yang bisa dilihat dan dirasakan publik. Entah dari peningkatan layanan BUMN, perbaikan infrastruktur, atau transparansi laporan keuangan. Kalau tidak, wajar bila publik curiga: penghematan itu berhenti di kalimat, bukan di tindakan. Delapan triliun itu bukan sekadar angka — itu cermin betapa jauhnya jarak antara realitas rakyat dan kemewahan elit. Jika negara sungguh-sungguh ingin dipercaya, maka perbaikannya harus nyata, bukan hanya di laporan tahunan. #fyp #gaji #bumn

About