@alii42442: #konya #keşfet #kızisteme Mahalleni yakarım demiştim🫶🫶

Ali 42
Ali 42
Open In TikTok:
Region: TR
Wednesday 06 November 2024 09:55:16 GMT
125974
1275
11
632

Music

Download

Comments

yabani_65_beyy
yabani_65_beyy :
maşallah kardeşim Allah mutlu mesut etsin
2024-12-17 15:13:10
2
aysearkann
aysearkann :
Az daha Konya’yı yakacaktın ablam❤️‍🔥
2024-11-08 07:49:07
0
_._.vaveyla._._
🕸VAVeYLa🕸 :
😂
2025-10-25 00:56:40
1
dyi0z90svfja
Sümeyye 🤍🤍 :
🥰
2025-10-08 09:10:29
1
s_27270
"𝑆ı𝑙𝑎" :
😘
2025-08-30 20:42:54
1
user9fw5zegwyd
🇹🇷UĞUR🇹🇷 :
😂
2025-08-20 10:25:09
1
mustafa.bad.demir
MUSTAFA BAD DEMİR :
😂
2025-07-22 18:49:45
1
ahmetcevirir01
Ahmet Çevirir :
💪🏻💪🏻💪🏻
2024-11-08 12:09:14
1
ozlemdurann._
Ö𝖟𝖑𝖊𝖒 :
😍😍😍
2024-11-06 10:06:52
1
To see more videos from user @alii42442, please go to the Tikwm homepage.

Other Videos

Kasus sengketa tanah yang menimpa Jusuf Kalla di Makassar, yang berujung pada kebingungan terang-terangan Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid, bukanlah anomali, melainkan simtoma akut dari kegagalan negara menjamin asas kepastian hukum atas properti.  Penjelasan BPN mengenai akar masalah, yang merujuk pada sertifikat lama dan putusan pengadilan yang bertentangan, adalah sebuah pengakuan formal, namun pada saat yang sama, ia adalah pembenaran diri yang menangguhkan akuntabilitas. Kritik terhadap dua dalih utama yang disampaikan BPN harus ditempatkan pada konteks tanggung jawab birokrasi negara modern. 1. Dalih
Kasus sengketa tanah yang menimpa Jusuf Kalla di Makassar, yang berujung pada kebingungan terang-terangan Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid, bukanlah anomali, melainkan simtoma akut dari kegagalan negara menjamin asas kepastian hukum atas properti. Penjelasan BPN mengenai akar masalah, yang merujuk pada sertifikat lama dan putusan pengadilan yang bertentangan, adalah sebuah pengakuan formal, namun pada saat yang sama, ia adalah pembenaran diri yang menangguhkan akuntabilitas. Kritik terhadap dua dalih utama yang disampaikan BPN harus ditempatkan pada konteks tanggung jawab birokrasi negara modern. 1. Dalih "Sertifikat Tua": Kelalaian Sistematik yang Dipelihara BPN mengklaim bahwa penyebab utama tumpang tindih adalah sertifikat KW 4, 5, dan 6 (terbitan 1961–1997) yang tidak memiliki peta kadastral dan belum terdigitalisasi. Ini adalah pemindahan tanggung jawab ke masa lalu, padahal institusi BPN (dan pendahulunya) telah eksis puluhan tahun untuk menuntaskan pekerjaan rumah ini. Digitalisasi bukan lagi isu futuristik, melainkan keharusan sejak era 2000-an. Pengakuan bahwa sertifikat yang diterbitkan hingga tahun 1997 masih "rawan konflik" karena belum terpetakan digital menunjukkan: # Prioritas yang Salah: Selama lebih dari dua dekade, BPN gagal memprioritaskan validasi data dan pemetaan kadastral, pekerjaan yang vital bagi integritas sistem pertanahan. Kelambanan ini adalah kelalaian sistematik yang secara efektif memelihara kerentanan data sebagai lahan subur bagi spekulan dan mafia tanah. # Implikasi Politik-Birokrasi: Masalah ini mengindikasikan adanya resistensi internal birokrasi terhadap transparansi dan pembaruan data. Arsip fisik yang belum digital sering kali menjadi alat tawar-menawar atau sumber kekuasaan bagi oknum tertentu, menunda upaya digitalisasi total yang sejatinya dapat memangkas praktik koruptif. Dengan demikian, dalih sertifikat tua adalah pengakuan terlambat atas kegagalan BPN masa kini dalam membersihkan dan mereformasi warisan data masa lalu. 2. Inkonsistensi Yudisial: Kesenjangan Koordinasi yang Melanggengkan Chaos Penyebab kedua, putusan pengadilan yang saling bertentangan, menunjuk pada cacat fundamental dalam koordinasi antar-cabang kekuasaan negara. Sertifikat tanah seharusnya menjadi dokumen sacred yang bersumber dari data negara tunggal. Namun, putusan PTUN yang dibatalkan oleh Kasasi atau PK, yang secara bergantian memerintahkan pembatalan dan penerbitan sertifikat, menunjukkan bahwa otoritas BPN dalam memelihara basis data dapat diintervensi oleh sistem peradilan yang terfragmentasi. ✓ Otoritas Ganda: Negara menciptakan dua sumber "kebenaran" yang saling meniadakan: data registrasi BPN (Eksekutif) versus putusan pengadilan (Yudikatif). Ketika keduanya tidak sinkron, yang hancur adalah kepastian hukum properti. ✓ MoU yang Tidak Cukup: Kerja sama dengan Mahkamah Agung hanyalah solusi permukaan. Yang dibutuhkan adalah integrasi sistem digital real-time yang memastikan setiap perintah pembatalan atau penerbitan sertifikat dari pengadilan langsung, otomatis, dan tidak dapat diubah tanpa jejak audit yang jelas pada basis data BPN. Tanpa integrasi semacam itu, sengketa tanah akan terus menjadi ladang sengketa yang tak berujung, di mana pihak yang memiliki sumber daya hukum terbesar yang akan menang. Fakta bahwa mantan Wakil Presiden harus berjuang dengan empat sertifikat SHGB di tengah kerumitan ini adalah bukti paling nyata bahwa semua warga negara Indonesia, kaya maupun miskin, berdiri di atas fondasi pertanahan yang rapuh. Alih-alih menyalahkan masa lalu, BPN harus menghadapi kenyataan bahwa kelambanan mereka dalam digitalisasi dan kegagalan mereka membangun sistem terintegrasi dengan peradilan telah membuat negara abai terhadap hak properti dasar warganya, sekaligus melanggengkan praktik-praktik yang merugikan kepastian investasi dan keadilan sosial. #gribjayaantimafia #gribjaya #mafiatanah #bpn

About