@au.turki: # حكم لبس البنطلون للمرأة

فهيد القحطاني ابو تركي
فهيد القحطاني ابو تركي
Open In TikTok:
Region: SA
Monday 24 March 2025 02:30:19 GMT
7026
49
3
125

Music

Download

Comments

user12694624656164
الانيقه :
😁😁😁
2025-03-24 04:55:12
0
user3744024375619
يزن :
🌃
2025-03-24 08:11:15
0
To see more videos from user @au.turki, please go to the Tikwm homepage.

Other Videos

Senyum Rallia di Bobanigo Langit Halmahera Barat masih teduh saat kegiatan resmi ditutup. Rallia Asyari Ikram,  berdiri sejenak memandangi barisan rombongan yang perlahan membubarkan diri. Wajahnya tetap tenang seperti biasa—anggun, penuh wibawa. Namun ada sesuatu yang mengusik hatinya hari itu: rindu yang telah lama ia simpan dalam diam. Ia meminta sopirnya berbelok, bukan pulang ke Weda, bukan kembali ke Halteng, tapi menuju satu titik yang tak pernah ia lupakan: Bobanigo. Kampung kecil yang menyimpan jejak masa kecilnya—dan lebih penting dari itu, tempat sang paman, satu-satunya orang tua yang masih ia miliki, menua dalam sepi. Perjalanan ke Bobanigo tak pernah berubah. Jalan tanah yang terjal, pepohonan rindang di kiri kanan, dan semilir angin yang membawa bau laut dan hutan. Setibanya di sana, ia turun pelan, tak membawa rombongan, hanya dirinya sendiri. Ia ingin waktu itu menjadi miliknya dan milik sang kakek saja. Di dalam rumah  yang sederhana, pamannya terbaring di dipan tua. Tubuhnya lemah, matanya keruh, tapi sorotnya langsung bersinar begitu melihat ponakan yang sudah lama tak pulang.
Senyum Rallia di Bobanigo Langit Halmahera Barat masih teduh saat kegiatan resmi ditutup. Rallia Asyari Ikram, berdiri sejenak memandangi barisan rombongan yang perlahan membubarkan diri. Wajahnya tetap tenang seperti biasa—anggun, penuh wibawa. Namun ada sesuatu yang mengusik hatinya hari itu: rindu yang telah lama ia simpan dalam diam. Ia meminta sopirnya berbelok, bukan pulang ke Weda, bukan kembali ke Halteng, tapi menuju satu titik yang tak pernah ia lupakan: Bobanigo. Kampung kecil yang menyimpan jejak masa kecilnya—dan lebih penting dari itu, tempat sang paman, satu-satunya orang tua yang masih ia miliki, menua dalam sepi. Perjalanan ke Bobanigo tak pernah berubah. Jalan tanah yang terjal, pepohonan rindang di kiri kanan, dan semilir angin yang membawa bau laut dan hutan. Setibanya di sana, ia turun pelan, tak membawa rombongan, hanya dirinya sendiri. Ia ingin waktu itu menjadi miliknya dan milik sang kakek saja. Di dalam rumah yang sederhana, pamannya terbaring di dipan tua. Tubuhnya lemah, matanya keruh, tapi sorotnya langsung bersinar begitu melihat ponakan yang sudah lama tak pulang. "Rallia..." gumamnya, hampir tak terdengar. Tanpa banyak bicara, Rallia duduk di sampingnya. Ia mengusap badan paman lalu mulai mengoleskannya perlahan ke tubuh paman yang kurus. Setiap olesan adalah doa. Setiap sentuhan adalah cinta yang tak pernah luntur meski waktu terus berjalan. "Sehat-sehat ya, paman..." bisiknya lembut. Sang paman tak menjawab. Matanya perlahan basah. Setetes, lalu dua tetes air mata jatuh ke pipinya. Mungkin itu tangis haru. Mungkin juga kesedihan karena tahu pokana hanya bisa singgah sejenak, sebelum kembali ke kabupaten Halmahera tengah. Namun Rallia hanya tersenyum. Senyum kecil yang tak banyak berubah sejak masa kecilnya. Senyum yang diam-diam ingin menyampaikan bahwa ia masih anak kecil yang dulu selalu duduk di pangkuan sang kakek, mendengarkan dongeng sambil tertidur. Tak ada pidato. Tak ada berita. Hanya ponakan dan paman, dalam pertemuan singkat yang penuh makna. Dan senyuman itu, seolah menjadi janji dalam diam bahwa ia akan kembali, tak peduli seberapa sibuk dunia menariknya pergi.

About