@zfgbr: 😔😔. #حسين_العلي #شعبي #عود #fyp #اكسبلورexplore #عزف #

LAYTH✨.
LAYTH✨.
Open In TikTok:
Region: SA
Sunday 27 April 2025 12:35:11 GMT
1965
57
2
6

Music

Download

Comments

e.s6q
E🪽’ :
ماشاءالله تبارك الله عليك فنننن+ عزازي 😖🥇.
2025-04-28 22:54:52
3
a884271
A :
🎼
2025-04-27 13:09:26
2
To see more videos from user @zfgbr, please go to the Tikwm homepage.

Other Videos

Jakarta, November 2025. Di ruang penyidikan Polda Metro Jaya, waktu berjalan lambat. Kurnia Tri Royani, pengacara dr. Tifa, keluar dari pemeriksaan selama 9 jam dengan mata sembab dan suara bergetar. Ia tak lagi bicara soal ijazah Jokowi, tapi soal ket*kutan; “Saya gak kuat kalau harus masuk penjara.” Pitra Ramadhoni, praktisi hukum yang sejak awal mengkritisi kelompok Roy Suryo, Cs, meny*ndir dengan t*jam; “Benar kan, mereka akan nangis m*wek.” Kelompok Roy Suryo, Cs selama ini dikenal vokal. Mereka menuduh ijazah Presiden Jokowi p*lsu, menggelar konferensi pers, dan menyebarkan dokumen yang mereka klaim sebagai bukti. Tapi setelah status tersangka disematkan, narasi berubah menjadi drama hukum. Kurnia, yang sebelumnya tampil percaya diri, kini mengaku keberatan menjawab pertanyaan penyidik. Ia menyebut pelapor tidak punya legal standing, dan merasa proses hukum ini terlalu berat. Pitra, yang pernah menunjukkan b*rgol sebagai simbol balasan atas “gimmick wayang” Roy Suryo, kini merasa pembuktian hukum sedang berjalan ke arah yang benar. Dulu mereka bicara soal “kebenaran akademik.” Kini mereka bicara soal “kasihanilah kami.” Dulu mereka menuntut transparansi, kini mereka meminta perlindungan. Ironisnya, mereka yang menuduh tanpa bukti kini meminta bukti bahwa mereka bersalah. Padahal dalam hukum, beban pembuktian tak bisa dibalik seenaknya. Dan publik pun bertanya; Apakah air mata itu bentuk penyesalan, atau strategi hukum? Kasus ini bukan hanya soal ijazah. Ia adalah cermin dari bagaimana opini publik bisa berubah menjadi beban hukum. Ketika narasi dibangun di atas asumsi, maka penyidikan akan membongkar fondasinya. Pitra Ramadhoni menyebut bahwa proses hukum akan menguji keberanian mereka. “Kalau memang yakin, hadapi. Jangan n*ngis.” Tapi air mata Kurnia menunjukkan bahwa keyakinan di media sosial tak selalu bertahan di ruang penyidikan. Dalam hukum, emosi bukan pembelaan. Air mata bisa menggugah simpati, tapi tak menghapus pasal. Dan mungkin, di balik tangisan itu, ada pelajaran bahwa menyebar tuduhan bukan sekadar keberanian, tapi tanggung jawab. Karena di ruang hukum, yang diuji bukan suara, tapi bukti. Salam Keadilan, Darius Leka, S.H.  #kurniatriroyani #pitraramadhoni #airmatahukum #foryou #fyp @semuaorang
Jakarta, November 2025. Di ruang penyidikan Polda Metro Jaya, waktu berjalan lambat. Kurnia Tri Royani, pengacara dr. Tifa, keluar dari pemeriksaan selama 9 jam dengan mata sembab dan suara bergetar. Ia tak lagi bicara soal ijazah Jokowi, tapi soal ket*kutan; “Saya gak kuat kalau harus masuk penjara.” Pitra Ramadhoni, praktisi hukum yang sejak awal mengkritisi kelompok Roy Suryo, Cs, meny*ndir dengan t*jam; “Benar kan, mereka akan nangis m*wek.” Kelompok Roy Suryo, Cs selama ini dikenal vokal. Mereka menuduh ijazah Presiden Jokowi p*lsu, menggelar konferensi pers, dan menyebarkan dokumen yang mereka klaim sebagai bukti. Tapi setelah status tersangka disematkan, narasi berubah menjadi drama hukum. Kurnia, yang sebelumnya tampil percaya diri, kini mengaku keberatan menjawab pertanyaan penyidik. Ia menyebut pelapor tidak punya legal standing, dan merasa proses hukum ini terlalu berat. Pitra, yang pernah menunjukkan b*rgol sebagai simbol balasan atas “gimmick wayang” Roy Suryo, kini merasa pembuktian hukum sedang berjalan ke arah yang benar. Dulu mereka bicara soal “kebenaran akademik.” Kini mereka bicara soal “kasihanilah kami.” Dulu mereka menuntut transparansi, kini mereka meminta perlindungan. Ironisnya, mereka yang menuduh tanpa bukti kini meminta bukti bahwa mereka bersalah. Padahal dalam hukum, beban pembuktian tak bisa dibalik seenaknya. Dan publik pun bertanya; Apakah air mata itu bentuk penyesalan, atau strategi hukum? Kasus ini bukan hanya soal ijazah. Ia adalah cermin dari bagaimana opini publik bisa berubah menjadi beban hukum. Ketika narasi dibangun di atas asumsi, maka penyidikan akan membongkar fondasinya. Pitra Ramadhoni menyebut bahwa proses hukum akan menguji keberanian mereka. “Kalau memang yakin, hadapi. Jangan n*ngis.” Tapi air mata Kurnia menunjukkan bahwa keyakinan di media sosial tak selalu bertahan di ruang penyidikan. Dalam hukum, emosi bukan pembelaan. Air mata bisa menggugah simpati, tapi tak menghapus pasal. Dan mungkin, di balik tangisan itu, ada pelajaran bahwa menyebar tuduhan bukan sekadar keberanian, tapi tanggung jawab. Karena di ruang hukum, yang diuji bukan suara, tapi bukti. Salam Keadilan, Darius Leka, S.H. #kurniatriroyani #pitraramadhoni #airmatahukum #foryou #fyp @semuaorang

About