@thestarkk_: deneme postu #spiderman #symbiote #symbiotespiderman #spidermancomics #comics #marvel #marvelcomics #thestarkk

mert
mert
Open In TikTok:
Region: TR
Monday 12 May 2025 13:14:38 GMT
316894
32912
188
2290

Music

Download

Comments

mercer.aep
MERCER :
What spiderman 2’s story should have been honestly
2025-05-29 15:29:02
164
hesbi12
Hesbi :
me when i go black mode
2025-05-19 11:47:15
100
j4r_0f_fli3s
Ben🐻 :
should’ve put the “ kill kraven” from venom at the end
2025-05-22 14:26:45
673
favoriyanda
favoriyanda :
Song name pls
2025-06-30 18:24:52
0
lad_der4
lad_der4 :
MAKE BATTLEFRONT 3!
2025-05-23 00:55:51
9
radinho.cc
radinho :
can i use this idea??
2025-07-19 19:34:47
1
sulebzeseyvarebuli
𝖙𝖍𝖊 𝖖𝖚𝖊𝖊𝖓𝖘 𝖘𝖑𝖆𝖛𝖊 :
2025-10-03 09:53:37
8
1ry4n_
Rian :
Venom was a real one for bringing Peter back 🤝
2025-06-06 17:53:12
1
thefryzen
Arda Sparda :
yep definitely thats me
2025-05-12 13:21:47
149
murattsh
Murat :
kral allah icin hangi edit programi soyle
2025-06-15 14:16:25
0
2020apple3
prince.d1011 :
So who climbed out of the grave? Kraven or Spider-Man
2025-06-27 15:46:40
0
el.jays1
el.jays :
you’ve gotta remake this with the “here… in case you want to skip to the end.” 🔥
2025-05-26 01:07:52
3
yuchiigo
Daniel :
2025-07-03 08:27:56
17
james_ustares
JAMES :
"you guys wanna go fast?" "lets go fast"
2025-07-29 07:14:35
2
unrecognizableuser0003
黑死神 :
prime absolute.
2025-06-19 04:44:55
0
lord_groale
Groale :
cooooollld
2025-06-23 20:50:16
1
lazy_hishi
LAZY :
a whole spider-multiverse in these comment sections. love it!
2025-07-21 20:30:45
0
whicklydoo
WhIcklYdoo :
ts is a masterpiece
2025-06-06 01:37:11
6
_.szsymbiote._
シンビオート :
"he is here"
2025-07-01 07:18:34
0
inx_lonely
And_Unity :
а этот комикс интересный?
2025-06-11 20:03:59
0
jakubzqre1l
LEGOman2.0 :
peak
2025-05-19 08:42:06
4
mr.ritz07
Mr.Ritz✝️ :
What comic is this
2025-08-12 18:07:31
1
cmicalos1
cmicalos1 :
What is the comic called where this happens ?
2025-08-10 18:33:52
1
To see more videos from user @thestarkk_, please go to the Tikwm homepage.

Other Videos

Zona Pelayaran yang Terkepung: Di Tanjung Kelian, Ponton Ilegal Mengapung, Hukum Tenggelam Muntok, Bangka Barat — Laut Tanjung Kelian kembali beriak, bukan oleh angin musim timur yang menurunkan ombak, tetapi oleh kekhawatiran manusia yang mencari kepastian hukum di ruang laut yang kian menyempit. Di garis antara kewajiban negara dan kerakusan tambang liar, ponton-ponton ilegal bergerak pelan, mendekat seperti bayangan gelap yang menunggu sesuatu untuk pecah, Selasa (02/12/2025). Para Anak Buah Kapal (ABK) yang melintas saban hari menyebut situasi ini bukan lagi “rawan”, melainkan mengintai maut. Setiap kali feri mengiris gelombang menuju Palembang, mereka bekerja di antara dua dunia yaitu di atas geladak menjaga keselamatan ratusan penumpang, di bawah air besi-besi tambang mengapung tak diundang. “Kadang cuma 200–300 meter dari jalur kapal. Kalau gelombang naik, itu sama saja nol. Kami takut kapal hantam ponton. Ini bukan soal timah, ini soal nyawa,” ujar R, ABK yang suaranya bergetar seperti lampu navigasi tua yang hendak padam. Di laut, jarak bukan angka. Ia adalah ruang antara hidup dan kecelakaan. Dalam peta resmi, alur pelayaran Tanjung Kelian tergambar sebagai jalur biru yang tegas. Namun di lapangan, garis itu seperti nasib hukum negeri ini yaitu ditetapkan dengan mulia, dilanggar dengan percaya diri. Beberapa ponton bahkan tak memasang lampu navigasi. “Di laut, gelap itu ruang kosong,” kata R. “Kalau ada benda tapi tak bisa kita lihat, itu ya musibah menunggu giliran.” ABK lainnya, S, menertawakan keadaan pahit itu dengan satire yang pedih. “Zona pelayaran itu ibarat jalan raya. Tapi di sini, ada yang gelar ‘lapak’ di tengah jalan. Bayangin naik motor, terus ada orang buka warung di tengah aspal. Gimana gak bahaya?” Tawanya hambar. Laut tidak tertawa. Dari pesisir Tanjung, keresahan menjalar ke rumah-rumah sederhana yang hidup bersama debur ombak. Nurhayati, ibu rumah tangga yang sedari kecil melihat kapal datang dan pergi, bertanya dengan nada getir. “Semua aturan kita bisa baca. Tapi yang kita tak lihat itu tindakan. Apa harus ada kapal karam dulu baru sibuk menertibkan?” Di kampung nelayan, Pardi hanya bisa menatap air dengan keresahan yang nyaris religius. “Laut sini dulu tenang. Sekarang lampu ponton dekat jalur kapal bikin bulu kuduk berdiri. Jangan sampai nanti ada korban dulu baru ramai-ramai cari siapa salah.” Pardi tahu bagaimana hukuman alam bekerja, ia tidak menunggu konfirmasi aparat. Fenomena ponton ilegal menjamur di alur pelayaran bukanlah peristiwa tunggal. Ia adalah ulang siar dari cerita kelabu yang terus diputar: Penangkapan 7 ponton liar di Teluk Inggris, Juli 2025 Penertiban 13 ponton ilegal, Juli 2025 Penyekatan ponton di Pantai Tembelok, 2023 Larangan penambangan resmi (Polres Bangka Barat) Mongabay Indonesia mencatat fenomena serupa sejak 2019 bahwa setelah aparat pergi, ponton kembali datang seperti ritual tahunan, seolah-olah laut adalah tanah negara yang sedang dipanen gelap-gelapan. Seorang peneliti lingkungan menyebut ini “daur ulang impunitas” penertiban bersifat seremoni, pelanggaran tetap berlangsung, dan korban selalu masyarakat. Regulasi negara sebenarnya sudah bicara lantang: UU 17/2008 Pelayaran Melarang kegiatan apa pun yang mengancam keselamatan navigasi. PP 5/2010 Kenavigasian Mengatur bahwa benda apung dilarang ditempatkan tanpa izin otoritas pelabuhan. Permenhub PM 51/2021 Mengharuskan alur pelayaran bebas hambatan fisik. Permenhub PM 91/2021 Menetapkan zonasi kawasan pelabuhan penyeberangan. Namun di Tanjung Kelian, aturan menjadi semacam doa dibacakan, tetapi tak menggerakkan apa-apa. Seorang oknum yang diam-diam menghubungi penulis hanya berkomentar: “Kami tahu aturannya. Yang sulit itu menegakkan ketika yang bermain bukan orang kecil.” Ruang laut di Babel kini seperti ruang tamu yang diperebutkan oleh dua tamu tak seimbang. Kapal penyeberangan: wajib menjaga nyawa ratusan manusia. Ponton ilegal: wajib mengejar hasil timah untuk bertahan hidup. Dua kewajiban bertabrakan. Satu adalah fungsi negara. Yang lain adalah
Zona Pelayaran yang Terkepung: Di Tanjung Kelian, Ponton Ilegal Mengapung, Hukum Tenggelam Muntok, Bangka Barat — Laut Tanjung Kelian kembali beriak, bukan oleh angin musim timur yang menurunkan ombak, tetapi oleh kekhawatiran manusia yang mencari kepastian hukum di ruang laut yang kian menyempit. Di garis antara kewajiban negara dan kerakusan tambang liar, ponton-ponton ilegal bergerak pelan, mendekat seperti bayangan gelap yang menunggu sesuatu untuk pecah, Selasa (02/12/2025). Para Anak Buah Kapal (ABK) yang melintas saban hari menyebut situasi ini bukan lagi “rawan”, melainkan mengintai maut. Setiap kali feri mengiris gelombang menuju Palembang, mereka bekerja di antara dua dunia yaitu di atas geladak menjaga keselamatan ratusan penumpang, di bawah air besi-besi tambang mengapung tak diundang. “Kadang cuma 200–300 meter dari jalur kapal. Kalau gelombang naik, itu sama saja nol. Kami takut kapal hantam ponton. Ini bukan soal timah, ini soal nyawa,” ujar R, ABK yang suaranya bergetar seperti lampu navigasi tua yang hendak padam. Di laut, jarak bukan angka. Ia adalah ruang antara hidup dan kecelakaan. Dalam peta resmi, alur pelayaran Tanjung Kelian tergambar sebagai jalur biru yang tegas. Namun di lapangan, garis itu seperti nasib hukum negeri ini yaitu ditetapkan dengan mulia, dilanggar dengan percaya diri. Beberapa ponton bahkan tak memasang lampu navigasi. “Di laut, gelap itu ruang kosong,” kata R. “Kalau ada benda tapi tak bisa kita lihat, itu ya musibah menunggu giliran.” ABK lainnya, S, menertawakan keadaan pahit itu dengan satire yang pedih. “Zona pelayaran itu ibarat jalan raya. Tapi di sini, ada yang gelar ‘lapak’ di tengah jalan. Bayangin naik motor, terus ada orang buka warung di tengah aspal. Gimana gak bahaya?” Tawanya hambar. Laut tidak tertawa. Dari pesisir Tanjung, keresahan menjalar ke rumah-rumah sederhana yang hidup bersama debur ombak. Nurhayati, ibu rumah tangga yang sedari kecil melihat kapal datang dan pergi, bertanya dengan nada getir. “Semua aturan kita bisa baca. Tapi yang kita tak lihat itu tindakan. Apa harus ada kapal karam dulu baru sibuk menertibkan?” Di kampung nelayan, Pardi hanya bisa menatap air dengan keresahan yang nyaris religius. “Laut sini dulu tenang. Sekarang lampu ponton dekat jalur kapal bikin bulu kuduk berdiri. Jangan sampai nanti ada korban dulu baru ramai-ramai cari siapa salah.” Pardi tahu bagaimana hukuman alam bekerja, ia tidak menunggu konfirmasi aparat. Fenomena ponton ilegal menjamur di alur pelayaran bukanlah peristiwa tunggal. Ia adalah ulang siar dari cerita kelabu yang terus diputar: Penangkapan 7 ponton liar di Teluk Inggris, Juli 2025 Penertiban 13 ponton ilegal, Juli 2025 Penyekatan ponton di Pantai Tembelok, 2023 Larangan penambangan resmi (Polres Bangka Barat) Mongabay Indonesia mencatat fenomena serupa sejak 2019 bahwa setelah aparat pergi, ponton kembali datang seperti ritual tahunan, seolah-olah laut adalah tanah negara yang sedang dipanen gelap-gelapan. Seorang peneliti lingkungan menyebut ini “daur ulang impunitas” penertiban bersifat seremoni, pelanggaran tetap berlangsung, dan korban selalu masyarakat. Regulasi negara sebenarnya sudah bicara lantang: UU 17/2008 Pelayaran Melarang kegiatan apa pun yang mengancam keselamatan navigasi. PP 5/2010 Kenavigasian Mengatur bahwa benda apung dilarang ditempatkan tanpa izin otoritas pelabuhan. Permenhub PM 51/2021 Mengharuskan alur pelayaran bebas hambatan fisik. Permenhub PM 91/2021 Menetapkan zonasi kawasan pelabuhan penyeberangan. Namun di Tanjung Kelian, aturan menjadi semacam doa dibacakan, tetapi tak menggerakkan apa-apa. Seorang oknum yang diam-diam menghubungi penulis hanya berkomentar: “Kami tahu aturannya. Yang sulit itu menegakkan ketika yang bermain bukan orang kecil.” Ruang laut di Babel kini seperti ruang tamu yang diperebutkan oleh dua tamu tak seimbang. Kapal penyeberangan: wajib menjaga nyawa ratusan manusia. Ponton ilegal: wajib mengejar hasil timah untuk bertahan hidup. Dua kewajiban bertabrakan. Satu adalah fungsi negara. Yang lain adalah

About