@hamzawy_faza: تفاعلكم ميت 🐸#اكسبلورexplore #الشعب_الصيني_ماله_حل😂😂

hamzawy
hamzawy
Open In TikTok:
Region: IL
Sunday 25 May 2025 12:58:07 GMT
14888
484
19
20

Music

Download

Comments

user1230085854908
للوش 🌹 :
احلا شي شفتو اليوم🌹🌹🌹
2025-05-25 23:38:03
0
tarek.kabha8
Tarik kabaha :
ع البركه
2025-05-30 14:25:51
0
deyabelleih
Deya Belleih :
لازم الساعة لون اسود منور صديقي
2025-05-31 02:03:12
0
silmeresilva599
silmere silva :
maravilhoso🥰🤩
2025-06-05 12:50:26
0
rami.hanania
Rami Hanania :
👍
2025-11-06 09:22:18
0
asma.mokaadi
assouma :
😘
2025-08-10 20:02:47
0
19al183
🥇🥇🥇🥇 :
🥰🥰🥰
2025-06-10 23:46:27
0
nnnbgfhxhcdf
وفاء احمد :
🤣🤪
2025-05-29 06:57:39
0
diva_mariana1
🦋 :
❤️❤️❤️
2025-05-29 02:16:20
0
ktsar.r2
şikâyet :
👍👍👍
2025-05-26 22:14:43
0
jinje_24
Fahd :
😂😂😂😂😂😂😂😂😂
2025-05-26 20:14:22
0
h5k6kk88
بنت قلبه ♥️😌 :
🤭🤭😂😁
2025-05-25 23:43:14
0
yenlin998
👸 Queen Yen Lin 👸 :
🤗🤗🤗
2025-05-25 21:16:52
0
mayra_venegas13
mayra :
💖🥰
2025-05-25 20:59:41
0
iqor.999
iqor.999 :
👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍
2025-05-25 17:41:13
0
hala_loj
hala :
خطييي عليك😂😂😂
2025-05-25 20:11:56
0
fahad99583
fahad99583 :
ممكن سؤال عالخاص رجاء
2025-05-25 13:44:48
1
To see more videos from user @hamzawy_faza, please go to the Tikwm homepage.

Other Videos

Kadang Tragedi tak lahir dari Kebencian, Tapi dari Cinta yang Gagal menemukan cara untuk Tenang. —   Tak ada satu pun jiwa yang siap menyaksikan darah menggenang diantara dinding rumahnya sendiri. Tak ada hati yang mampu menanggung beban ketika tangan yang seharusnya melindungi justru menjadi alat mencabut nyawa.  Namun, begitulah tragedi yang mengoyak tenang pagi di Desa Talang Empat, Kecamatan Karang Tinggi, Bengkulu Tengah — sebuah kisah getir yang menelanjangi sisi paling gelap dari amarah manusia. Rabu pagi (5/11/2025), di rumah sederhana seorang petani bernama Sa (52), kehidupan berubah menjadi duka abadi. Pertengkaran sepele — hanya tentang ponsel, teguran, dan rasa kesal — menjelma menjadi tragedi berdarah antara ayah tiri dan anak sambungnya sendiri.  Sebilah parang yang mestinya untuk bekerja di ladang, kini menjadi saksi bisu betapa mudahnya batas antara kasih dan benci runtuh dalam sekejap. Korban, yang masih muda dan keras kepala, sempat menyerang terlebih dahulu. Namun, dalam amarah yang membutakan, Sa membalas dengan satu tebasan yang mengakhiri hidup anak sambung yang seharusnya ia rawat dan bimbing. Leher yang terluka, tubuh yang tersungkur, dan isak seorang ibu yang memecah sunyi—semuanya menjadi puing-puing penyesalan yang tak bisa ditarik kembali. Kini, rumah itu tak lagi sama. Dindingnya menyimpan gema pertengkaran terakhir yang tak akan pernah usai. Polisi telah datang, barang bukti telah diamankan, dan hukum mulai bekerja dalam jalannya yang pasti: pasal demi pasal, berkas demi berkas, menuju meja pengadilan. Pelaku kini menjadi tersangka, dan proses hukum harus ditegakkan. Karena di hadapan hukum, darah tetaplah darah — entah mengalir dari musuh, anak, atau saudara sendiri. Namun dibalik pasal-pasal dingin itu, tersisa pertanyaan yang tak mudah dijawab: Keadilan seperti apakah yang akan menebus luka ini? Apakah keadilan cukup dengan hukuman, ketika penyesalan telah membunuh lebih dalam dari vonis itu sendiri? Tragedi Talang Empat bukan sekadar perkara pidana. Ia adalah cermin tentang rapuhnya kendali manusia terhadap amarah, tentang keluarga yang gagal berdialog, dan tentang kasih sayang yang berubah menjadi bencana. Kini, para wakil Tuhan di ruang sidang kelak akan dihadapkan pada dilema yang sunyi: menegakkan hukum, atau menimbang rasa. Sebab di balik semua itu, ada jiwa yang kehilangan arah, ada seorang ibu yang kehilangan dua orang yang ia cintai sekaligus—anak di liang, suami di penjara. Dan kita, sebagai manusia, hanya bisa menunduk, menyadari bahwa kadang tragedi tak lahir dari kebencian, tapi dari cinta yang gagal menemukan cara untuk tenang. (Cik)  #tragediayahtiri #tragediayahsambung #bengkulutengah #subandi #polresbengkulutengah
Kadang Tragedi tak lahir dari Kebencian, Tapi dari Cinta yang Gagal menemukan cara untuk Tenang. — Tak ada satu pun jiwa yang siap menyaksikan darah menggenang diantara dinding rumahnya sendiri. Tak ada hati yang mampu menanggung beban ketika tangan yang seharusnya melindungi justru menjadi alat mencabut nyawa. Namun, begitulah tragedi yang mengoyak tenang pagi di Desa Talang Empat, Kecamatan Karang Tinggi, Bengkulu Tengah — sebuah kisah getir yang menelanjangi sisi paling gelap dari amarah manusia. Rabu pagi (5/11/2025), di rumah sederhana seorang petani bernama Sa (52), kehidupan berubah menjadi duka abadi. Pertengkaran sepele — hanya tentang ponsel, teguran, dan rasa kesal — menjelma menjadi tragedi berdarah antara ayah tiri dan anak sambungnya sendiri. Sebilah parang yang mestinya untuk bekerja di ladang, kini menjadi saksi bisu betapa mudahnya batas antara kasih dan benci runtuh dalam sekejap. Korban, yang masih muda dan keras kepala, sempat menyerang terlebih dahulu. Namun, dalam amarah yang membutakan, Sa membalas dengan satu tebasan yang mengakhiri hidup anak sambung yang seharusnya ia rawat dan bimbing. Leher yang terluka, tubuh yang tersungkur, dan isak seorang ibu yang memecah sunyi—semuanya menjadi puing-puing penyesalan yang tak bisa ditarik kembali. Kini, rumah itu tak lagi sama. Dindingnya menyimpan gema pertengkaran terakhir yang tak akan pernah usai. Polisi telah datang, barang bukti telah diamankan, dan hukum mulai bekerja dalam jalannya yang pasti: pasal demi pasal, berkas demi berkas, menuju meja pengadilan. Pelaku kini menjadi tersangka, dan proses hukum harus ditegakkan. Karena di hadapan hukum, darah tetaplah darah — entah mengalir dari musuh, anak, atau saudara sendiri. Namun dibalik pasal-pasal dingin itu, tersisa pertanyaan yang tak mudah dijawab: Keadilan seperti apakah yang akan menebus luka ini? Apakah keadilan cukup dengan hukuman, ketika penyesalan telah membunuh lebih dalam dari vonis itu sendiri? Tragedi Talang Empat bukan sekadar perkara pidana. Ia adalah cermin tentang rapuhnya kendali manusia terhadap amarah, tentang keluarga yang gagal berdialog, dan tentang kasih sayang yang berubah menjadi bencana. Kini, para wakil Tuhan di ruang sidang kelak akan dihadapkan pada dilema yang sunyi: menegakkan hukum, atau menimbang rasa. Sebab di balik semua itu, ada jiwa yang kehilangan arah, ada seorang ibu yang kehilangan dua orang yang ia cintai sekaligus—anak di liang, suami di penjara. Dan kita, sebagai manusia, hanya bisa menunduk, menyadari bahwa kadang tragedi tak lahir dari kebencian, tapi dari cinta yang gagal menemukan cara untuk tenang. (Cik) #tragediayahtiri #tragediayahsambung #bengkulutengah #subandi #polresbengkulutengah

About