ARBILLION SULBAR PASANGKAYU :
"Api tak memberi pilihan… satu-satunya jalan adalah melompat. Malam itu bukan malam biasa—itu malam di mana doa-doa dipanjatkan sambil menangis, tubuh-tubuh menggigil karena air laut yang dingin, dan wajah-wajah terakhir yang terlihat… bisa jadi yang terakhir untuk selamanya. Penumpang terjun satu per satu… sebagian tak pandai berenang, sebagian tak sempat membawa pelampung, sebagian terdiam… karena tahu orang yang mereka sayangi tak ikut melompat.Dan di antara tubuh-tubuh yang melayang ke laut, ada satu bocah kecil… dipeluk erat oleh ibunya. 'Lompat sekarang, Nak,' katanya. Tapi sang ibu tak sempat ikut. Air laut menyambut anak itu… dingin, gelap, dan asing. Ia menangis di antara ombak, memanggil nama yang tak lagi menjawab. Ia selamat—ditarik oleh penyelamat, dibungkus handuk… tapi dalam hatinya, badai masih terus berkecamuk.Kami semua terjun ke laut, bukan karena berani… tapi karena tak ada pilihan lain. Api memburu kami dari belakang, dan gelapnya lautan membentang di depan. Tak semua dari kami bisa berenang, tapi kami semua ingin hidup. Jeritan demi jeritan tertelan ombak. Lalu aku melihatnya—seorang anak kecil, sendirian, terapung dengan pelampung yang kebesaran di tubuh mungilnya. Tak ada lagi suara ibu atau ayah… hanya dia, menggigil, dan menatap kosong ke langit."
2025-07-21 09:53:14