@pouletlocalfamilyfall.sa: poulet local family Fall

POULET LOCAL FAMILY FALL S.A.S
POULET LOCAL FAMILY FALL S.A.S
Open In TikTok:
Region: SN
Monday 28 July 2025 22:55:55 GMT
646
24
12
2

Music

Download

Comments

khadimseck297
Xelcom volaille :
😂😂😂😂 kilo tank 2000f
2025-07-28 23:05:22
2
mame.khary.fall07
Mame Khary Fall :
andill ma diayko rek😂😂😂😂
2025-07-29 16:59:34
0
abdou_bass_diop
Abdou Diop🇸🇳🇨🇮 :
walaay😀😀
2025-07-28 23:28:48
1
mondsir.alvihn.ch
Mondésir Alvihn Chiawa :
😄😄😄😄
2025-07-30 10:40:53
0
user88221100167514
user88221100167514 :
fall yagui nioye tong dé
2025-07-28 23:33:05
1
user7065017833130
Ouséne Kéta :
pour les 🐕🐕🐕🐕🐕
2025-07-29 05:04:58
0
To see more videos from user @pouletlocalfamilyfall.sa, please go to the Tikwm homepage.

Other Videos

#Jay pov : Sejak kecil, kamu terbiasa sendiri. Tak ada keluarga, tak ada tempat pulang, hanya ada keberanianmu untuk terus hidup. Itu sebabnya, ketika Jay datang dengan senyumnya dan tangannya yang meraihmu, kamu tak mengerti apa yang dia lihat dari dirimu. Hari itu, Jay menjemputmu dengan mobil yang bahkan kamu tak berani sentuh pintunya. Ia menoleh, meraih tanganmu, menggenggam erat. “Nanti kalau Mama bilang macam-macam jangan dengerin,” katanya pelan. “Liat aku aja.” Kamu hanya mengangguk. Rumahnya terlalu megah, lantai yang berkilau di mana-mana. Ibunya Jay berdiri menatapmu. “Jadi ini perempuan yang kamu banggakan?” suaranya datar. Kamu menunduk, menahan gemetar. “Kamu pikir apa yang kamu cari di sini?” Ia mendekat selangkah. “Uang? Nama keluarga kami?” Jay menegang di sampingmu. Tapi ibunya tak berhenti. “Kalian tidak setara. Kamu tidak pantas berdiri di rumah ini. Tidak pantas berdiri di samping anakku.” Kalimat itu membuat jantungmu seakan berhenti berdetak. Kamu hanya bisa menunduk lebih dalam, menahan air mata. Jay menarik napas panjang, jemarinya makin erat mencengkerammu. “Ma—” “Diam, Jay,” potong ibunya. Jay menatap ibunya, matanya merah. “Aku bawa dia ke sini bukan buat minta restu,” suara Jay pecah. “Aku bawa dia supaya Mama tau, dia pilihanku.” Ibunya terdiam. Kamu bisa merasakan seluruh ruangan menolak keberadaanmu. Tapi Jay tak melepaskan tanganmu. Di mobil pulang, kamu hanya diam. Jay berkali-kali melirikmu. “Kamu marah?” tanyanya pelan. Kamu menggeleng. “Aku cuma sadar tempatku di mana.” Jay menghela napas. “Tempat kamu di samping aku.” Malam itu, kamu menangis di pelukannya. Kamu pikir setelah itu semuanya akan membaik. Tapi ternyata belum. Beberapa hari kemudian, ibunya datang. Ia melempar amplop ke arahmu. “Ini cukup untuk kamu pergi. Kalau kamu masih punya harga diri, kamu tinggalkan Jay sekarang juga.” Kamu hanya diam. Beberapa hari kamu menghilang. Jay mencarimu ke mana-mana, menelepon tanpa henti. Hingga akhirnya ia muncul, membuka pintu tanpa menunggu jawaban. “Aku capek,” katanya pelan.
#Jay pov : Sejak kecil, kamu terbiasa sendiri. Tak ada keluarga, tak ada tempat pulang, hanya ada keberanianmu untuk terus hidup. Itu sebabnya, ketika Jay datang dengan senyumnya dan tangannya yang meraihmu, kamu tak mengerti apa yang dia lihat dari dirimu. Hari itu, Jay menjemputmu dengan mobil yang bahkan kamu tak berani sentuh pintunya. Ia menoleh, meraih tanganmu, menggenggam erat. “Nanti kalau Mama bilang macam-macam jangan dengerin,” katanya pelan. “Liat aku aja.” Kamu hanya mengangguk. Rumahnya terlalu megah, lantai yang berkilau di mana-mana. Ibunya Jay berdiri menatapmu. “Jadi ini perempuan yang kamu banggakan?” suaranya datar. Kamu menunduk, menahan gemetar. “Kamu pikir apa yang kamu cari di sini?” Ia mendekat selangkah. “Uang? Nama keluarga kami?” Jay menegang di sampingmu. Tapi ibunya tak berhenti. “Kalian tidak setara. Kamu tidak pantas berdiri di rumah ini. Tidak pantas berdiri di samping anakku.” Kalimat itu membuat jantungmu seakan berhenti berdetak. Kamu hanya bisa menunduk lebih dalam, menahan air mata. Jay menarik napas panjang, jemarinya makin erat mencengkerammu. “Ma—” “Diam, Jay,” potong ibunya. Jay menatap ibunya, matanya merah. “Aku bawa dia ke sini bukan buat minta restu,” suara Jay pecah. “Aku bawa dia supaya Mama tau, dia pilihanku.” Ibunya terdiam. Kamu bisa merasakan seluruh ruangan menolak keberadaanmu. Tapi Jay tak melepaskan tanganmu. Di mobil pulang, kamu hanya diam. Jay berkali-kali melirikmu. “Kamu marah?” tanyanya pelan. Kamu menggeleng. “Aku cuma sadar tempatku di mana.” Jay menghela napas. “Tempat kamu di samping aku.” Malam itu, kamu menangis di pelukannya. Kamu pikir setelah itu semuanya akan membaik. Tapi ternyata belum. Beberapa hari kemudian, ibunya datang. Ia melempar amplop ke arahmu. “Ini cukup untuk kamu pergi. Kalau kamu masih punya harga diri, kamu tinggalkan Jay sekarang juga.” Kamu hanya diam. Beberapa hari kamu menghilang. Jay mencarimu ke mana-mana, menelepon tanpa henti. Hingga akhirnya ia muncul, membuka pintu tanpa menunggu jawaban. “Aku capek,” katanya pelan. "Kamu mau sampai kapan lari dari aku?” Kamu menunduk. “Jay, aku—” “Aku tau Mama nyuruh kamu pergi." Kamu tak sanggup menjawab. “Aku marah karena kamu lebih percaya kata orang lain daripada kata aku.” Beberapa bulan kemudian, kalian menikah dalam pesta besar. Kamera, tamu penting, tatapan sinis ibunya, semua jadi saksi bahwa kalian berdiri di sana bersama. “Aku janji apapun yang terjadi… aku di sini.” Dan Jay menepati janjinya. Ketika kamu hamil, ibunya sempat datang. Membuatmu celaka jatuh di tangga dan hampir kehilangan calon anak kalian. Jay datang ke rumah sakit dengan mata merah, mencium tanganmu berulang kali. “Maaf,” bisiknya. “Maaf aku terlambat.” Malam itu, ia bicara pada keluarganya. Kamu tak tahu apa yang ia katakan. Tapi saat pulang, wajahnya tenang. “Aku udah selesai,” suaranya lembut. "Aku pilih kamu," katanya. Keesokan harinya, kalian pindah ke kontrakan kecil. Tak ada lantai berkilau. Hanya dinding tua, pintu kayu yang berderit, dan satu ranjang yang kalian bagi. Tapi Jay tampak lebih damai dari yang pernah kamu lihat. Malam itu, kalian duduk bersama, makan nasi hangat seadanya. Jay menatapmu lama. “Kamu bahagia?” tanyanya pelan. Kamu mengangguk. “Kamu?” Jay tersenyum. “Banget. Karena sekarang aku nggak harus bagi kamu sama siapa pun.” Ia meraih tanganmu, menggenggam erat. “Kalau besok kita nggak punya apa-apa, kamu masih mau sama aku?” “Aku cuma mau sama kamu. Apa pun yang kita punya… atau gak punya.” Saat perutmu membesar, Jay sering menempelkan telinganya, mendengar detak jantung kecil yang membuatnya tersenyum. “Kita nggak punya banyak,” katanya suatu malam, di bawah lampu redup ruang. "Tapi kita punya satu sama lain. Dan buatku… itu cukup.” Di rumah sederhana, lingkungan sederhana, kamu menemukan sesuatu yang tak pernah kamu miliki di rumah mana pun. Dan untuk pertama kali dalam hidupmu, kamu merasa pulang. #pov #jay #enhypen #fyp

About