Pov : Sudah tiga minggu sejak pertengkaran terakhir. Sejak kamu pergi tanpa menoleh, dan Jay membiarkan pintu itu tertutup tanpa berlari mengejarmu. Tapi malam ini.. dia datang. Saat kamu sedang duduk sendiri di halte sepi, menunggu hujan reda dan hatimu reda, Jay berdiri di hadapanmu. Payung hitam di tangannya, dan wajah yang tak lagi secerah saat ia bermain gitar di atas panggung. “Aku salah y/n. Aku tau itu.” Ujarnya pelan dengan wajah menunduk. Kamu menatapnya tanpa bicara. Ada sebagian dari hatimu yang menjerit ingin dipeluk, tapi sisanya telah belajar berdiri sendiri. Kamu ingin luka ini selesai. “Aku nyakitin kamu dengan ketakutan-ketakutan yang harusnya aku lawan.” Kini wajah itu menatapmu, penuh dengan rasa sesal. “Aku salah udah biarin orang-orang salah paham. Udah biarin kamu sendirian..” Diam. Hanya suara hujan yang memecah ruang di antara kalian. “Aku ga pernah ga cinta kamu. Aku cuma.. aku cuma bingung y/n.” Kamu akhirnya berdiri. Tapi.. dengan jarak yang di sengaja. “Kamu cinta, tapi kamu sembunyiin aku Jay.” Ucapmu pelan. “Kamu bilang aku berarti, tapi kamu biarin aku berjuang sendiri.” Jay menggenggam tanganmu. Kali ini ia tak lagi ragu. Tapi kamu sudah tau bahwa genggaman yang terlambat.. tidak selalu menyembuhkan yang retak. Jay berbicara lirih. Menatap lekat iris matamu yang sudah terlanjur kecewa. “Kita mulai dari awal lagi, ya sayang? Kita bisa pelan-pelan. Aku belum siap publish sekarang, tapi aku janji.. nanti.” Dan itu kata yang membuat dadamu runtuh. “Nanti.” Kamu menarik tanganmu perlahan. Lalu tertawa pelan. Mata kalian saling menatap, dan untuk pertama kalinya.. kamu tidak menunduk. Kamu bicara, dengan suara pelan, tapi gemetar oleh perasaan yang terlalu lama ditahan. “Kamu tau, Jay?” Jay menatapmu, masih dengan harap yang menggantung. “Ada jenis cinta yang ga kalah menyakitkan daripada ditinggalkan.." ujarmu. "Yaitu cinta yang ga pernah diperjuangkan.” Jay terdiam. Dan kamu melanjutkan. Dengan kalimat yang membuat harapan Jay hancur detik itu juga. “Dan itu kita Jay.” Jay menunduk. Matanya mulai basah. Kamu melangkah mundur satu langkah, menatapnya dengan pandangan terakhir yang penuh luka, tapi juga penuh ketegasan. Bahwa kamu siap untuk melepas lebih dulu. “Aku cinta kamu, Jay. Tapi aku ga mau jadi satu-satunya yang berjuang untuk sesuatu yang seharusnya diperjuangin sama-sama.” Ujarmu pelan. “Aku ga kuat jadi rahasia lagi. Ga kuat dipinggirkan untuk alasan yang kamu sebut 𝘯𝘢𝘯𝘵𝘪.” Jay mencoba bicara, tapi kamu menahan tangannya, lalu melepaskannya perlahan. Kemudian tersenyum dengan satu bulir air mata yang sedari tadi tertahan di pelupuk. “Kalau kamu harus berpikir dua kali untuk memilih aku di depan orang lain.. itu berarti aku cuma separuh dari cinta kamu. Dan itu bukan cinta yang layak untuk aku perjuangkan.” Lalu kamu pergi. Tanpa kata pamit. Lagi. Tanpa janji. Tanpa berharap Jay mengejarmu kali ini. Karna harapan mu sudah usai. ♡♡♡ Jay duduk di ruang latihan, menatap kursi kosong yang jauh di ujung, tempat kamu biasanya duduk. Gawon sedang latihan vokal di dalam, tapi Jay tidak lagi mendengarnya. Di tangannya, kertas lirik yang ia tulis semalam, berisi kalimat yang tidak akan pernah kamu dengar darinya secara langsung seperti biasa—di saat hubungan kalian masih baik-baik saja. 𝙺𝚊𝚖𝚞 𝚙𝚎𝚛𝚗𝚊𝚑 𝚓𝚊𝚍𝚒 𝚜𝚞𝚊𝚛𝚊 𝚍𝚒 𝚝𝚎𝚗𝚐𝚊𝚑 𝚋𝚒𝚜𝚒𝚗𝚐𝚔𝚞. 𝚃𝚊𝚙𝚒 𝚊𝚔𝚞 𝚝𝚎𝚛𝚕𝚊𝚕𝚞 𝚝𝚊𝚔𝚞𝚝 𝚖𝚎𝚖𝚞𝚝𝚊𝚛𝚔𝚊𝚗 𝚟𝚘𝚕𝚞𝚖𝚎 𝚒𝚝𝚞. 𝙺𝚒𝚗𝚒 𝚔𝚊𝚖𝚞 𝚍𝚒𝚊𝚖, 𝚍𝚊𝚗 𝚊𝚔𝚞 𝚝𝚊𝚞.. 𝚊𝚔𝚞 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚖𝚎𝚖𝚋𝚞𝚗𝚞𝚑 𝚕𝚊𝚐𝚞 𝚒𝚝𝚞 𝚜𝚎𝚗𝚍𝚒𝚛𝚒. Dan untuk pertama kalinya, Jay memainkan gitarnya.. dengan rasa yang benar-benar hancur. Karena sekarang dia tau, cinta itu bukan hanya soal rasa. Tapi keberanian. Dan ia kehilangannya. Dia kehilangan kamu. ♡♡♡ masih ada lanjutan tapi ga muat, even di komenan pun gabisa 😭🤏 #pov #jayenhypen #fyp #jayedit #parkjongseong - @nida_amanda