Pov ─ Malam itu, jendela apartemen mewah di lantai 70 terbuka lebar. Pemandangan Dubai dengan lautan lampu di bawah sana jadi saksi bisu—betapa gilanya dunia tempat seorang pria bernama Na Jaemin berdiri. Tinggi, tegap, wajah dingin. Jas hitam yang membalut tubuhnya kelihatan terlalu sempurna. Tangannya memegang gelas kristal berisi anggur merah. Dan kamu… Gadis SMA 18 tahun, masih pakai kaos oversize bergambar karakter kartun, jongkok di sofa empuk kayak anak kecil ngambek. “Aku bosan…” gumammu sambil manyun, narik-narik ujung kaos. Jaemin menoleh. Tatapan matanya yang tajam itu bisa bikin pria dewasa gemetar, tapi setiap mengarah ke kamu… entah kenapa jadi lembut. “Bosan?” suaranya berat, dingin, tapi rapi. Kamu manggut, sambil mainin rambut panjangmu sendiri. “Ya… aku pengen main ke mall. Kayak temen-temenku. Bukan cuma dikurung di sini sama kamu.” Dia mendekat. Langkahnya tenang, berwibawa, bikin detak jantungmu ngacir. Jaemin berhenti tepat di depanmu, gelas anggur ditaruh di meja. Tangannya terulur, mencubit halus pipimu. “Kamu sadar tidak, bocah? Di luar sana, satu kota tunduk di bawah kaki saya. Polisi, penguasa, bahkan anak raja sekalipun—semua menunduk ketika nama saya disebut.” Dia menunduk, wajahnya mendekat ke wajahmu. “Dan kamu… berani menuntut untuk main ke mall?” Kamu mendengus. “Yaelah, Jaemin. Kamu itu mafia atau babysitter sih? Masa anak kecil kayak aku aja nggak boleh keluar.” Jaemin terdiam sejenak, lalu senyum tipis muncul. Senyum yang biasanya bikin lawannya takut setengah mati, tapi kali ini—justru bikin kamu salah tingkah. “Tepat. Kamu memang anak kecil,” bisiknya. “Anak kecil milik saya.” Kamu ternganga. Mukamu panas. “Ap—apa sih! Gombal banget, jijik.” Kamu bangkit berdiri, berusaha menjauh, tapi tangannya lebih cepat. Dia menarik pergelangan tanganmu, dan dalam sekejap tubuh mungilmu terdorong ke dadanya. Tegap, keras, dan… hangat. “Lepasin, aku serius nih!” kamu mencoba melepaskan diri. Jaemin menunduk, suaranya pelan tapi tegas di telingamu. “Kamu boleh mengamuk, boleh ngambek, boleh merajuk. Tapi satu hal harus kamu ingat, Y/N… kamu tidak akan pernah bisa pergi dari saya.” Jantungmu hampir copot. Kamu membeku di pelukannya. “…Aku benci kamu.” gumammu lirih, sambil menunduk. Dia tertawa kecil, suara rendahnya menusuk. “Kamu benci? Bagus. Kebencianmu berarti kamu masih peduli. Itu lebih baik daripada kamu diam.” Dia mendongakkan wajahmu dengan jari, matanya menatap dalam. “Benci saya sepuasmu, bocah. Tapi jangan pernah coba lari.” Lalu— Tanpa aba-aba, bibirnya menyentuh bibirmu singkat. Tegas, formal, seperti cap tanda tangan penguasa. Kamu melotot. “Jaemin! Aku baru SMA, tahu nggak!” Dia tersenyum lagi, lalu mengusap kepalamu. “Itulah mengapa saya menunggu. Dua tahun lagi… kamu tidak akan bisa lari meskipun mau.” Kamu masih manyun sambil tepuk-tepuk bibirmu sendiri. “Dasar cowok gila… seenaknya aja nyium orang.” Belum sempat kamu mundur, tiba-tiba Jaemin membungkuk—lalu dengan mudah mengangkat tubuh mungilmu ke pelukannya. “Woi! Jaemin! Aku bisa jalan sendiri tau!” kamu refleks teriak, kedua tanganmu refleks melingkar ke lehernya biar nggak jatuh. Dia melirik sekilas, wajahnya datar tapi suaranya tenang banget. “Diam, bocah. Kamu terlalu kecil untuk menantang saya, apalagi untuk membantah.” “Apaan sih… aku bukan bocah, aku udah 18 tahun!” “Benar. Bocah 18 tahun. Masih terlalu muda untuk punya kuasa atas dirinya sendiri,” sahutnya dingin. Tapi tangan itu menahanmu erat, seakan nggak mau lepas sedikit pun. Jaemin melangkah masuk ke kamarnya yang luas—dinding kaca tinggi, ranjang king size dengan sprei putih mahal, lampu kota Dubai yang berkelip jadi pemandangan di luar jendela. Dia menaruhmu pelan di ranjang, tapi tubuhnya tetap condong mendekat. Kamu bergeser ke belakang, wajahmu memerah. “Jangan deket-deket! Aku bisa tidur sendiri!” Dia ikut naik ke ranjang, satu tangan bertumpu di samping kepalamu, membuatmu terkunci di bawahnya. lanjutan di komentar ya.. #pov #jaemin #ff - @sean96366