Bagas Setiawan :
Wanita yang tidak berhijab belum tentu berdosa, apalagi melanggar perintah Allah.
Dalam Tafsir Al-Azhar, Al-Manar, dan Al-Mishbah, penjelasan mengenai QS. Al-Ahzab ayat 59 menunjukkan bahwa jilbab lebih dimaknai sebagai anjuran dengan konteks perlindungan sosial, agar wanita dihormati serta lebih mudah dalam menjalankan ibadah. Dengan demikian, ayat tersebut tidak dimaksudkan sebagai aturan baku.
QS. An-Nur ayat 31 memerintahkan agar wanita menutup perhiasan tubuh, kecuali “yang biasa tampak”. Bagian ini masih menjadi perdebatan: sebagian ulama menafsirkannya sebagai wajah dan telapak tangan (seperti saat shalat atau ihram), sementara yang lain memaknainya sebagai berpakaian sopan tethormat.
Dalam Tafsir Al-Kitab wa Al-Qur’an (Muhammad Syahrur) , disebutkan bahwa di luar shalat, aurat minimal yang wajib ditutup hanyalah bagian vital tubuh. Namun, semakin banyak bagian tubuh yang ditutup, semakin baik pula nilainya dalam ibadah.
Dalam fikih klasik pun terdapat fleksibilitas. Sebagian Mazhab Hanafi, misalnya, membolehkan sebagian rambut tampak di luar ibadah madhah. Dalam Bidayat al-Mujtahid karya Ibnu Rusyd (mazhab Maliki), disebutkan bahwa menutup kepala di luar shalat tidak wajib apabila hal tersebut memberatkan.
Dengan demikian, konsep aurat bersifat relatif: berbeda menurut zaman, budaya, dan kondisi sosial. Wanita yang tidak mengenakan hijab tetap dapat menjadi hamba Allah yang taat, selama ibadahnya dijalankan dengan baik dan akhlaknya terjaga.
2025-09-19 22:59:58