@lsf_ri: Lembaga Sensor Film Republik Indonesia (LSF RI) pada Senin (15/9/2025) menyelenggarakan Rapat Koordinasi Panduan Film di Jakarta. Kegiatan ini merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas Panduan Film yang lebih lengkap serta terstandarisasi. #LembagaSensorFilm #MemilahMemilihTontonan #PanduanFilm #BudayaSensorMandiri

Lembaga Sensor Film RI
Lembaga Sensor Film RI
Open In TikTok:
Region: ID
Tuesday 16 September 2025 12:21:30 GMT
612
19
2
4

Music

Download

Comments

ahfarozaq88
fatkhurrozaq :
semoga lsf terus maju...
2025-09-16 13:02:50
0
To see more videos from user @lsf_ri, please go to the Tikwm homepage.

Other Videos

Kalimat dari George Orwell tentang kesetaraan yang semu dapat menjadi cermin bagi situasi politik Indonesia saat ini, sebab secara formal negara ini menganut prinsip demokrasi yang menempatkan seluruh warga negara pada posisi setara di hadapan hukum dan memiliki hak yang sama dalam menentukan arah kekuasaan melalui pemilihan umum, namun dalam praktiknya kesetaraan tersebut sering kali hanya menjadi slogan yang indah tanpa wujud nyata. Realitas politik memperlihatkan bahwa akses terhadap kekuasaan dan pengaruh politik jauh lebih mudah diperoleh oleh segelintir kelompok elite yang memiliki modal besar, baik modal ekonomi maupun modal sosial, sehingga proses politik yang seharusnya terbuka justru menyempit menjadi arena eksklusif yang dikuasai mereka yang memiliki kedekatan dengan lingkar kekuasaan. Reformasi yang pernah digadang sebagai titik balik menuju demokrasi yang sehat, ternyata hanya melahirkan pergantian wajah elite, bukan perombakan sistem yang mendasar, sehingga rakyat tetap terjebak dalam pola lama di mana mereka diposisikan sebagai pihak yang diberi hak memilih tetapi tidak sungguh-sungguh menentukan arah kebijakan. Fenomena lain yang mempertegas hal ini adalah munculnya polarisasi politik yang membelah masyarakat dalam kubu yang saling berhadapan, sebuah polarisasi yang sengaja dipelihara untuk mempertahankan kekuasaan melalui retorika emosional, sehingga rakyat sibuk dengan pertentangan identitas sementara isu-isu substansial seperti pemerataan ekonomi, keadilan hukum, dan penegakan transparansi tidak menjadi fokus utama. Dalam kondisi demikian, wacana kesetaraan politik hanya berlaku di permukaan, sedangkan dalam kenyataannya ada sebagian pihak yang memiliki ruang lebih luas untuk mengakses sumber daya negara, menikmati fasilitas publik dengan mudah, serta memperoleh perlakuan istimewa dari hukum. Hal ini tampak misalnya dalam perbedaan mencolok antara masyarakat biasa yang harus berjuang menghadapi birokrasi ketika mencari keadilan, dengan kelompok berkuasa yang justru bisa mengatur hukum agar melindungi kepentingan mereka. Dengan melihat kondisi ini, dapat dipahami bahwa politik Indonesia masih menyisakan kontradiksi mendasar antara prinsip demokrasi yang egaliter dan praktik oligarki yang berlapis, di mana jargon kesetaraan digunakan sebagai legitimasi namun pada akhirnya hanya menguntungkan pihak tertentu. Kesetaraan di atas kertas tidak berarti kesetaraan dalam kenyataan, dan ketidakselarasan inilah yang membuat masyarakat kerap merasa apatis terhadap politik. Ironi tersebut menunjukkan bahwa demokrasi yang semestinya menjadi wadah partisipasi rakyat justru berubah menjadi panggung yang dikuasai oleh segelintir aktor yang lebih berkuasa dibandingkan rakyat kebanyakan. Maka dapat disimpulkan bahwa situasi politik Indonesia hari ini menggambarkan sebuah paradoks besar, di mana kesetaraan yang dijanjikan tetap ada secara normatif, tetapi dalam praktiknya ada pihak-pihak yang lebih setara dari yang lain.
Kalimat dari George Orwell tentang kesetaraan yang semu dapat menjadi cermin bagi situasi politik Indonesia saat ini, sebab secara formal negara ini menganut prinsip demokrasi yang menempatkan seluruh warga negara pada posisi setara di hadapan hukum dan memiliki hak yang sama dalam menentukan arah kekuasaan melalui pemilihan umum, namun dalam praktiknya kesetaraan tersebut sering kali hanya menjadi slogan yang indah tanpa wujud nyata. Realitas politik memperlihatkan bahwa akses terhadap kekuasaan dan pengaruh politik jauh lebih mudah diperoleh oleh segelintir kelompok elite yang memiliki modal besar, baik modal ekonomi maupun modal sosial, sehingga proses politik yang seharusnya terbuka justru menyempit menjadi arena eksklusif yang dikuasai mereka yang memiliki kedekatan dengan lingkar kekuasaan. Reformasi yang pernah digadang sebagai titik balik menuju demokrasi yang sehat, ternyata hanya melahirkan pergantian wajah elite, bukan perombakan sistem yang mendasar, sehingga rakyat tetap terjebak dalam pola lama di mana mereka diposisikan sebagai pihak yang diberi hak memilih tetapi tidak sungguh-sungguh menentukan arah kebijakan. Fenomena lain yang mempertegas hal ini adalah munculnya polarisasi politik yang membelah masyarakat dalam kubu yang saling berhadapan, sebuah polarisasi yang sengaja dipelihara untuk mempertahankan kekuasaan melalui retorika emosional, sehingga rakyat sibuk dengan pertentangan identitas sementara isu-isu substansial seperti pemerataan ekonomi, keadilan hukum, dan penegakan transparansi tidak menjadi fokus utama. Dalam kondisi demikian, wacana kesetaraan politik hanya berlaku di permukaan, sedangkan dalam kenyataannya ada sebagian pihak yang memiliki ruang lebih luas untuk mengakses sumber daya negara, menikmati fasilitas publik dengan mudah, serta memperoleh perlakuan istimewa dari hukum. Hal ini tampak misalnya dalam perbedaan mencolok antara masyarakat biasa yang harus berjuang menghadapi birokrasi ketika mencari keadilan, dengan kelompok berkuasa yang justru bisa mengatur hukum agar melindungi kepentingan mereka. Dengan melihat kondisi ini, dapat dipahami bahwa politik Indonesia masih menyisakan kontradiksi mendasar antara prinsip demokrasi yang egaliter dan praktik oligarki yang berlapis, di mana jargon kesetaraan digunakan sebagai legitimasi namun pada akhirnya hanya menguntungkan pihak tertentu. Kesetaraan di atas kertas tidak berarti kesetaraan dalam kenyataan, dan ketidakselarasan inilah yang membuat masyarakat kerap merasa apatis terhadap politik. Ironi tersebut menunjukkan bahwa demokrasi yang semestinya menjadi wadah partisipasi rakyat justru berubah menjadi panggung yang dikuasai oleh segelintir aktor yang lebih berkuasa dibandingkan rakyat kebanyakan. Maka dapat disimpulkan bahwa situasi politik Indonesia hari ini menggambarkan sebuah paradoks besar, di mana kesetaraan yang dijanjikan tetap ada secara normatif, tetapi dalam praktiknya ada pihak-pihak yang lebih setara dari yang lain.

About