aduy1802 :
Narasi itu tampak logis di permukaan, tapi bila dilihat dengan kacamata neurosains, ada perbedaan mendasar antara mekanisme empati alami dan pembelajaran moral yang luas.
Otak mamalia sosial — termasuk manusia dan simpanse — memiliki sirkuit yang membuat kita “merasa” keadaan makhluk lain. Bagian seperti anterior cingulate cortex, insula, dan sistem neuron cermin memicu reaksi spontan saat melihat penderitaan teman. Itulah sebabnya seekor simpanse bisa menarik temannya yang tenggelam tanpa pernah membaca kitab suci: ia merespons sinyal bahaya lewat empati naluriah yang terbentuk selama jutaan tahun evolusi.
Namun empati biologis ini biasanya sempit: ia paling kuat pada individu yang dianggap “kerabat” atau bagian dari kelompok. Pada manusia, kita tidak hanya hidup dalam kelompok kecil; kita membangun kota, bangsa, bahkan jaringan global. Di sini kitab suci, filsafat, dan hukum berfungsi memperluas jangkauan empati, melatih otak agar peduli juga pada orang asing, bahkan pada generasi yang belum lahir.
Jadi, tindakan spontan simpanse bukan bukti bahwa kitab suci tak perlu; ia hanya menunjukkan akar biologis empati. Kitab suci dan norma budaya memberi bahasa, arah, dan kerangka yang memungkinkan manusia mengelola naluri itu sehingga kepedulian bisa melampaui batas genetik dan situasional — sesuatu yang jarang ditemukan secara konsisten pada hewan lain.
2025-09-19 23:39:04