putra :
Tayangan Trans7 tentang kehidupan pesantren baru-baru ini bukan sekadar miskomunikasi redaksional, melainkan contoh salah paham epistemik. Kamera media, yang dikuasai logika visual dan sensasional, mencoba merekam dunia yang hidup dengan ritme batin dan spiritual yang berbeda. Dunia pesantren bukan sekadar drama sosial yang bisa ditangkap oleh lensa; ia adalah ekosistem moral dan simbolik yang bergerak dengan logika makna, bukan logika pasar. Dari sinilah kesalahan mendasar muncul: media menilai pesantren dengan kategori ekonomi modern, bukan dengan pemahaman budaya yang mendalam.
Logika Makna Pesantren vs Logika Pasar
Bagi dunia industri, semua aktivitas harus bisa diukur, dikalkulasi, dan dipertukarkan dalam istilah modal. Namun pesantren hidup dengan logika yang berbeda. Pengabdian (khidmah) tidak diukur dengan honorarium, dan keberkahan (barokah) tidak dihitung dengan angka. Dalam tayangan Trans7, santri yang membantu di dapur atau membersihkan masjid dianggap sebagai “tenaga kerja”, sementara kiai yang tampak sejahtera ditafsir sebagai “pemodal utama”. Cara pandang ini simplistik sekaligus menyesatkan, karena menilai dunia pesantren dengan standar yang asing bagi kebudayaan itu sendiri.
Dunia Pesantren dan Cultural Logic
Dalam antropologi, setiap komunitas memiliki cultural logic, atau logika budaya yang menjelaskan mengapa suatu tindakan dianggap benar, pantas, dan terhormat. Dunia pesantren bekerja dalam logika spiritual dan simbolik. Khidmah bukan kerja paksa, tetapi laku spiritual; barokah adalah modal utama, bukan uang; relasi kiai-santri bukan hubungan ekonomi, melainkan hubungan genealogis-ruhaniyah, seperti antara ayah dan anak. Menafsirkan khidmah santri sebagai eksploitasi adalah contoh nyata dari benturan epistemik: simbol budaya dibaca dengan bahasa ekonomi.
Relasi Kiai–Santri: Transformasi Moral
Clifford Geertz dalam The Religion of Java menegaskan bahwa hubungan kiai dan santri bersifat paternalistik sekaligus edukatif. Santri belajar melalui teladan dan pelayanan, bukan hanya melalui pengajaran formal. Mereka mencuci piring, menyapu halaman, atau menyambut tamu kiai bukan karena diperintah, tetapi sebagai laku pengendalian diri dan pros
2025-10-15 05:52:12