Lombok – Nama Syamsul Jahidin, advokat muda asal Mataram, Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, mendadak mencuri perhatian nasional setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi yang ia ajukan terkait larangan anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil. Putusan itu berdampak besar: 4.351 anggota Polri kini wajib mundur dari jabatan sipil atau memilih pensiun dini. (Sumber: Putusan MK No. 114/PUU-XXIII/2025) Di balik sorotan nasional, Syamsul bukanlah sosok yang tumbuh dalam kenyamanan. Ia lahir di Pangesangan, Mataram, Lombok, pada 27 Mei 1992 di keluarga sederhana yang jauh dari privilese. Saat merantau untuk kuliah di kota besar, ia pernah bekerja sebagai satpam, dan mengalami malam-malam tidur beralas koran karena tak mampu menyewa tempat tinggal layak. Syamsul menempuh pendidikan komunikasi, kemudian hukum, dan mendalami hukum militer. Kini ia menjalani studi doktoral hukum, sambil berpraktik sebagai advokat di Mataram, Lombok. Gaya bicaranya lugas, argumentatif, dan fokus pada isu-isu konstitusional. Meski berangkat dari daerah, kepekaannya terhadap masalah demokrasi dan ketatanegaraan membuatnya berani mengajukan judicial review UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Bersama rekannya, Christian Adrianus Sihite, ia menilai bahwa penempatan polisi aktif di jabatan sipil seperti BNN, BSSN, hingga jabatan strategis kementerian menimbulkan ketimpangan dan mengganggu netralitas. “Jabatan sipil adalah ranah sipil,” tegasnya dalam berbagai kesempatan. Pada Kamis, 13 November 2025, Mahkamah Konstitusi melalui Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menyatakan bahwa frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri bertentangan dengan UUD 1945. (Sumber: MK) Putusan ini otomatis menghentikan seluruh praktik penugasan polisi aktif untuk menduduki jabatan sipil. Ke depan, anggota Polri yang ingin masuk ke ranah sipil harus mundur atau pensiun terlebih dahulu. Dampaknya langsung terasa: 4.351 anggota Polri yang kini menduduki jabatan sipil wajib menentukan pilihan mereka. Putusan MK tersebut membuat nama Syamsul melambung. Dari seorang pemuda Lombok yang dahulu tidur beralas koran, kini ia menjelma menjadi pengacara muda nasional yang berani menggunakan jalur konstitusional untuk memperbaiki tata kelola negara. Ia juga mulai dikenal sebagai figur inspiratif bagi anak muda Indonesia terutama dari daerah yang berangkat dari latar ekonomi terbatas. Baginya, hukum bukan sekadar kumpulan pasal, tetapi alat perjuangan. Syamsul menegaskan bahwa gugatannya bukanlah langkah politis, melainkan upaya memperbaiki sistem hukum dan menjaga batas tegas antara aparat dan jabatan sipil. Langkahnya mengajukan permohonan dari Lombok, jauh dari pusat kekuasaan, menunjukkan bahwa suara daerah pun dapat mengubah arah kebijakan nasional. Kini, Syamsul Jahidin bukan hanya dikenal sebagai advokat muda asal Lombok, tetapi sebagai simbol generasi baru yang berani menggugat ketimpangan dan percaya pada kekuatan konstitusi untuk mengubah bangsa. - @teras_lotara