@benedettasimeone._: amore & odio

benedettasimeone
benedettasimeone
Open In TikTok:
Region: IT
Thursday 20 November 2025 20:46:05 GMT
676
91
0
2

Music

Download

Comments

There are no more comments for this video.
To see more videos from user @benedettasimeone._, please go to the Tikwm homepage.

Other Videos

Jika membandingkan Napoleon Bonaparte dan Alexander the Great, dua nama ini berdiri sebagai simbol supremasi militer dan kecerdasan strategi di dua zaman berbeda. Namun bila kita menimbang mereka dari segala aspek — visi, karisma, taktik, pencapaian, dan dampak historis — Alexander Agung berdiri sedikit lebih tinggi, seperti dewa perang yang menatap dunia dari puncak legenda. Alexander bukan hanya penakluk wilayah, ia penakluk peradaban. Pada usia dua puluh, ia sudah menjadi raja; pada usia tiga puluh, ia telah menguasai dunia yang dikenal saat itu. Ia menaklukkan Persia, Mesir, Babilonia, dan India — bukan dengan keunggulan jumlah pasukan, tetapi dengan kejeniusan taktik yang hampir supranatural. Ia memutarbalikkan situasi mustahil menjadi kemenangan total, seperti di Gaugamela, di mana pasukannya yang jauh lebih kecil menghancurkan kekuatan Darius III yang tampak tak tertandingi. Di sana Alexander bukan sekadar panglima; ia adalah visi hidup tentang ambisi yang tak mengenal batas. Sementara Napoleon, jenius Eropa modern, adalah produk revolusi dan sistem. Ia merancang perang dengan sains, membangun strategi dengan logika dan disiplin baja. Tapi Alexander berperang dengan jiwa. Ia menginspirasi bukan dengan undang-undang, melainkan dengan mimpi. Para tentaranya rela mati hanya demi melihatnya tersenyum di tengah medan pertempuran. Napoleon memerintah dengan kekuasaan; Alexander memerintah dengan aura yang membuat bangsa-bangsa tunduk bahkan sebelum pedangnya dihunus. Alexander menciptakan penyatuan budaya — Hellenisme — yang membentuk dasar peradaban Barat dan Timur selama berabad-abad. Dari Alexandria di Mesir sampai ke Asia Tengah, ia menanamkan benih intelektual dan seni yang mengubah dunia. Napoleon juga membangun sistem hukum dan tatanan administratif yang hebat, tetapi pengaruhnya bersifat politis dan pragmatis. Alexander menembus ranah spiritual dan filosofis. Ia bukan hanya penakluk tubuh manusia, tetapi penakluk imajinasi umat manusia. Jika Napoleon adalah simbol kekuasaan manusia atas sistem, Alexander adalah simbol kehendak manusia atas takdir. Napoleon akhirnya dikalahkan oleh kekuatan koalisi dan politik, dibuang ke pulau kecil hingga mati dalam kesepian. Alexander meninggal muda di tengah kejayaannya, meninggalkan dunia dengan pertanyaan abadi — bagaimana jika ia hidup lebih lama? Dunia mungkin benar-benar menjadi satu di bawah satu bendera, satu bahasa, satu visi. Superioritas sejati tidak hanya diukur dari kemenangan perang, tetapi dari warisan yang tetap hidup setelah ribuan tahun. Napoleon dikenang dalam buku sejarah, Alexander diabadikan dalam mitos. Di antara keduanya, Alexander The Great bukan hanya lebih unggul. Ia lebih dari manusia — ia adalah simbol abadi tentang apa yang terjadi ketika kehendak manusia melampaui batas dewa. #napoleonbonaparte #alexanderthegreat #military #History #fyp
Jika membandingkan Napoleon Bonaparte dan Alexander the Great, dua nama ini berdiri sebagai simbol supremasi militer dan kecerdasan strategi di dua zaman berbeda. Namun bila kita menimbang mereka dari segala aspek — visi, karisma, taktik, pencapaian, dan dampak historis — Alexander Agung berdiri sedikit lebih tinggi, seperti dewa perang yang menatap dunia dari puncak legenda. Alexander bukan hanya penakluk wilayah, ia penakluk peradaban. Pada usia dua puluh, ia sudah menjadi raja; pada usia tiga puluh, ia telah menguasai dunia yang dikenal saat itu. Ia menaklukkan Persia, Mesir, Babilonia, dan India — bukan dengan keunggulan jumlah pasukan, tetapi dengan kejeniusan taktik yang hampir supranatural. Ia memutarbalikkan situasi mustahil menjadi kemenangan total, seperti di Gaugamela, di mana pasukannya yang jauh lebih kecil menghancurkan kekuatan Darius III yang tampak tak tertandingi. Di sana Alexander bukan sekadar panglima; ia adalah visi hidup tentang ambisi yang tak mengenal batas. Sementara Napoleon, jenius Eropa modern, adalah produk revolusi dan sistem. Ia merancang perang dengan sains, membangun strategi dengan logika dan disiplin baja. Tapi Alexander berperang dengan jiwa. Ia menginspirasi bukan dengan undang-undang, melainkan dengan mimpi. Para tentaranya rela mati hanya demi melihatnya tersenyum di tengah medan pertempuran. Napoleon memerintah dengan kekuasaan; Alexander memerintah dengan aura yang membuat bangsa-bangsa tunduk bahkan sebelum pedangnya dihunus. Alexander menciptakan penyatuan budaya — Hellenisme — yang membentuk dasar peradaban Barat dan Timur selama berabad-abad. Dari Alexandria di Mesir sampai ke Asia Tengah, ia menanamkan benih intelektual dan seni yang mengubah dunia. Napoleon juga membangun sistem hukum dan tatanan administratif yang hebat, tetapi pengaruhnya bersifat politis dan pragmatis. Alexander menembus ranah spiritual dan filosofis. Ia bukan hanya penakluk tubuh manusia, tetapi penakluk imajinasi umat manusia. Jika Napoleon adalah simbol kekuasaan manusia atas sistem, Alexander adalah simbol kehendak manusia atas takdir. Napoleon akhirnya dikalahkan oleh kekuatan koalisi dan politik, dibuang ke pulau kecil hingga mati dalam kesepian. Alexander meninggal muda di tengah kejayaannya, meninggalkan dunia dengan pertanyaan abadi — bagaimana jika ia hidup lebih lama? Dunia mungkin benar-benar menjadi satu di bawah satu bendera, satu bahasa, satu visi. Superioritas sejati tidak hanya diukur dari kemenangan perang, tetapi dari warisan yang tetap hidup setelah ribuan tahun. Napoleon dikenang dalam buku sejarah, Alexander diabadikan dalam mitos. Di antara keduanya, Alexander The Great bukan hanya lebih unggul. Ia lebih dari manusia — ia adalah simbol abadi tentang apa yang terjadi ketika kehendak manusia melampaui batas dewa. #napoleonbonaparte #alexanderthegreat #military #History #fyp

About