@devoe.ae: Supreme wizard 🔥 | Song: MONTAGEM SEDUZIR | #edit #foryoupage❤️❤️ #stephenstrange #marvel #viral

𝐃𝐄𝐕𝐎𝐄
𝐃𝐄𝐕𝐎𝐄
Open In TikTok:
Region: BR
Wednesday 26 November 2025 23:30:38 GMT
89367
8678
16
188

Music

Download

Comments

amv5548
353 :
Cool
2025-12-01 22:00:16
0
yassine_hl1
يـاسـيـن :
dr strange is a naturel aura farmer 🗿🤝
2025-11-26 23:40:06
0
leyxqw
️ :
woww
2025-12-01 19:20:07
0
mgl_thanos2
blaze :
first 🥇🥇🥇😆😆😆
2025-11-26 23:35:55
2
danidims0
danidims :
why doesn't bro have more likes this deserves like 100k bro it's peak
2025-11-29 13:24:11
0
jos.valadares.val
José Valadares Valadares :
fui o primeiro!!
2025-11-26 23:38:04
1
mgl_thanos2
blaze :
let's goooo
2025-11-26 23:36:05
0
modeleats25
Paytenleeee :
🥰
2025-12-02 04:02:02
0
escape.the.matrix5105
Escape the matrix :
🥰
2025-12-02 04:01:30
0
omolayo_julius_ayomide
Omolayo Julius Ayomide :
🥰🥰🥰
2025-12-02 03:30:26
0
sebas__787
SOY_SAJÁN :
😭😭😭
2025-12-01 23:49:08
0
sofy.olocco
sofii🌟 :
❤️
2025-12-01 21:57:11
0
kevinnewll
Kevin Newll :
😁😁😁
2025-12-01 20:33:05
0
nahidislam8968
Ꮮᴏʀᴅ (∞) Oℝuchiᴍสℝu_🌀 :
🗿🗿🗿
2025-12-01 07:38:25
0
wilson_cs
WiLsOnCs :
🥰🥰🥰
2025-11-29 15:12:56
0
To see more videos from user @devoe.ae, please go to the Tikwm homepage.

Other Videos

MENTERI KAPASITAS KULI: Satir Politik tentang Pencitraan, Ketidakcakapan, dan Turunnya Marwah Kepemimpinan Oleh: Engran Silalahi  Di tengah bencana yang menghantam Sumatera, masyarakat berharap kehadiran negara berarti hadirnya kebijakan, koordinasi, dan kecerdasan. Namun yang muncul justru adegan sinematik yang membuat publik mengernyit: seorang menteri sibuk memikul karung beras dan menyerok sisa banjir, lengkap dengan kamera yang selalu siap menangkap “kerja keras” lima menit itu. Pantas saja negara tidak maju - ternyata di balik gelar panjangnya, kapasitas kerjanya setara kuli pikul dan kuli serok, bukan menteri yang mengatur strategi nasional. Fenomena ini seperti lelucon politik yang tidak lagi lucu. Ketika banjir merendam rumah rakyat, tugas pejabat seharusnya merumuskan mitigasi, memperbaiki tata ruang, memperkuat sistem peringatan dini, dan membenahi koordinasi antarinstansi.  Tapi yang dijadikan prioritas justru pencitraan: pose membawa beras, gaya membungkuk sambil menyodok lumpur, dan mimik wajah yang mengharap ujaran “terharu” dari rakyat. Jika menteri sudah jatuh ke level gimmick visual begini, apa bedanya ia dengan figuran dalam film bencana? Dan parade ketidakcakapan ini ternyata tidak berhenti di Sumatera. Kepala lembaga kebencanaan sempat menyebut situasi “mencekam di media sosial,” lalu buru-buru meralat. Sebuah pernyataan yang bukan hanya memalukan, tetapi menunjukkan bahwa kemampuan membaca realita sama kaburnya dengan membaca data. Kalau pejabat bencana tidak memahami bencana, itu bukan sekadar salah bicara - itu salah takdir jabatan. Belum selesai, ada pejabat lain yang tiba-tiba mengaku bahwa masa lalunya saat “main tambang” membuatnya banyak menebang pohon. Pengakuan yang entah ingin dianggap jujur atau dramatis, tapi justru terdengar seperti testimoni pelaku perusakan lingkungan yang kini mengurusi kebijakan negara. Publik bingung: ini pejabat atau penyesal profesional? Kemudian muncul pula narasi bahwa gelondongan kayu di tengah banjir bukanlah hasil pembalakan liar. Kalau bukan pembalakan liar, mungkin pohon-pohon itu sedang jalan pagi. Atau melakukan wisata air bah. Atau mungkin hutan kita sudah begitu cerdas sampai pohonnya bisa menebang dirinya sendiri. Satir politik sebenarnya tidak perlu digarap lagi - para pejabat sudah membuat naskahnya sendiri. Sementara itu, presiden terus berbicara tentang visi besar 2045, tentang generasi emas, tentang bangsa yang kuat menghadapi bencana. Tapi bagaimana generasi emas bisa dibentuk jika teladan yang mereka lihat adalah pejabat yang kapasitasnya hanya sebatas kuli pikul beras, kuli serok lumpur, dan kuli klarifikasi? Tidak heran semangat belajar generasi muda merosot; yang ditampilkan pemimpin bukan kecerdasan, tapi pertunjukan. Maka pertanyaan besarnya: sampai kapan Presiden Prabowo mempertahankan pejabat-pejabat yang justru menurunkan martabat pemerintahannya sendiri? Bagaimana negara bisa melesat maju jika menterinya tidak berfungsi sebagai otak negara, melainkan sebagai figur yang sibuk memposisikan diri sebagai relawan dadakan untuk kamera? Satir ini bukan merendahkan profesi kuli - pekerjaan itu mulia dan dilakukan dengan keringat yang jujur. Yang disindir adalah pejabat yang seharusnya bekerja di level visi, strategi, dan kebijakan, tetapi malah bekerja di level pencitraan fisik yang tidak memberi dampak apa-apa. Negara tidak akan maju dengan pejabat yang jago memikul karung dan menyerok lumpur; negara hanya maju jika pejabatnya mampu memikul data, nalar, tanggung jawab, dan kompetensi. Jika rakyat semakin sinis, jangan salahkan rakyat. Salahkan pejabat yang menjadikan bencana sebagai panggung, bukan sebagai tanggung jawab. Karena pada titik ini, bangsa besar bukan sedang diuji oleh bencana alam - tetapi oleh bencana kualitas kepemimpinan. #guruperadabanIndonesia #bencanasumatera #bencanakepemimpinan @bnpb_indonesia @tvOnenews @Metro TV
MENTERI KAPASITAS KULI: Satir Politik tentang Pencitraan, Ketidakcakapan, dan Turunnya Marwah Kepemimpinan Oleh: Engran Silalahi Di tengah bencana yang menghantam Sumatera, masyarakat berharap kehadiran negara berarti hadirnya kebijakan, koordinasi, dan kecerdasan. Namun yang muncul justru adegan sinematik yang membuat publik mengernyit: seorang menteri sibuk memikul karung beras dan menyerok sisa banjir, lengkap dengan kamera yang selalu siap menangkap “kerja keras” lima menit itu. Pantas saja negara tidak maju - ternyata di balik gelar panjangnya, kapasitas kerjanya setara kuli pikul dan kuli serok, bukan menteri yang mengatur strategi nasional. Fenomena ini seperti lelucon politik yang tidak lagi lucu. Ketika banjir merendam rumah rakyat, tugas pejabat seharusnya merumuskan mitigasi, memperbaiki tata ruang, memperkuat sistem peringatan dini, dan membenahi koordinasi antarinstansi. Tapi yang dijadikan prioritas justru pencitraan: pose membawa beras, gaya membungkuk sambil menyodok lumpur, dan mimik wajah yang mengharap ujaran “terharu” dari rakyat. Jika menteri sudah jatuh ke level gimmick visual begini, apa bedanya ia dengan figuran dalam film bencana? Dan parade ketidakcakapan ini ternyata tidak berhenti di Sumatera. Kepala lembaga kebencanaan sempat menyebut situasi “mencekam di media sosial,” lalu buru-buru meralat. Sebuah pernyataan yang bukan hanya memalukan, tetapi menunjukkan bahwa kemampuan membaca realita sama kaburnya dengan membaca data. Kalau pejabat bencana tidak memahami bencana, itu bukan sekadar salah bicara - itu salah takdir jabatan. Belum selesai, ada pejabat lain yang tiba-tiba mengaku bahwa masa lalunya saat “main tambang” membuatnya banyak menebang pohon. Pengakuan yang entah ingin dianggap jujur atau dramatis, tapi justru terdengar seperti testimoni pelaku perusakan lingkungan yang kini mengurusi kebijakan negara. Publik bingung: ini pejabat atau penyesal profesional? Kemudian muncul pula narasi bahwa gelondongan kayu di tengah banjir bukanlah hasil pembalakan liar. Kalau bukan pembalakan liar, mungkin pohon-pohon itu sedang jalan pagi. Atau melakukan wisata air bah. Atau mungkin hutan kita sudah begitu cerdas sampai pohonnya bisa menebang dirinya sendiri. Satir politik sebenarnya tidak perlu digarap lagi - para pejabat sudah membuat naskahnya sendiri. Sementara itu, presiden terus berbicara tentang visi besar 2045, tentang generasi emas, tentang bangsa yang kuat menghadapi bencana. Tapi bagaimana generasi emas bisa dibentuk jika teladan yang mereka lihat adalah pejabat yang kapasitasnya hanya sebatas kuli pikul beras, kuli serok lumpur, dan kuli klarifikasi? Tidak heran semangat belajar generasi muda merosot; yang ditampilkan pemimpin bukan kecerdasan, tapi pertunjukan. Maka pertanyaan besarnya: sampai kapan Presiden Prabowo mempertahankan pejabat-pejabat yang justru menurunkan martabat pemerintahannya sendiri? Bagaimana negara bisa melesat maju jika menterinya tidak berfungsi sebagai otak negara, melainkan sebagai figur yang sibuk memposisikan diri sebagai relawan dadakan untuk kamera? Satir ini bukan merendahkan profesi kuli - pekerjaan itu mulia dan dilakukan dengan keringat yang jujur. Yang disindir adalah pejabat yang seharusnya bekerja di level visi, strategi, dan kebijakan, tetapi malah bekerja di level pencitraan fisik yang tidak memberi dampak apa-apa. Negara tidak akan maju dengan pejabat yang jago memikul karung dan menyerok lumpur; negara hanya maju jika pejabatnya mampu memikul data, nalar, tanggung jawab, dan kompetensi. Jika rakyat semakin sinis, jangan salahkan rakyat. Salahkan pejabat yang menjadikan bencana sebagai panggung, bukan sebagai tanggung jawab. Karena pada titik ini, bangsa besar bukan sedang diuji oleh bencana alam - tetapi oleh bencana kualitas kepemimpinan. #guruperadabanIndonesia #bencanasumatera #bencanakepemimpinan @bnpb_indonesia @tvOnenews @Metro TV

About